Minggu, 24 Januari 2016

Penulisan Feature

#TULISAN5 BAHASA INDONESIA 1

Penulisan Feature

Topik: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa dalam arti yang Sebenarnya
Tema: Kehidupan guru setelah pengabdiannya

Teras (Lead)
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Kalimat tersebut sudah tidak asing lagi untuk kita, sangat identik dengan satu kata, yaitu Guru. Pandangan masyarakat luas terhadap profesi mulia ini sangatlah minim. Semakin identik dengan upah yang kecil tetapi memiliki tanggung jawab yang besar, jam kerja yang melebihi pekerjaan orang pada umumnya, ilmu dan pengetahuan yang harus selalu baru setiap hari tanpa pernah melupakan yang lama, belum lagi harus mengajar dan menyampaikan ilmu tersebut kepada anak muridnya, membuat sebagian besar masyarakat enggan menyematkan profesi guru ini di Kartu Tanda Penduduk (KTP) – nya. Tugas guru harus ditambah lagi dengan mendidik, memperhatikan, dan juga menyayangi anak – anak murid yang tentu saja bukan anak kandungnya sendiri. Memastikan mereka melakukan perbuatan yang baik dan terpuji, melakukan sesuatu yang benar, disiplin, taat, rajin, paham tentang pelajaran, mendapat nilai yang bagus . . . membaca tulisan tentang guru ini saja sudah melelahkan, bagaimana mereka yang melakukannya ya?
                Menurut saya, guru, dosen, pengajar, mereka tidak ada bedanya. Tugas utama mereka adalah mengajarkan yang seharusnya mereka ajarkan kepada muridnya. Dosen melakukannya di tingkat universitas, guru melakukannya di tingkat sekolah, tenaga pengajar melakukannya di tingkat yang lebih rendah lagi ataupun di lembaga pendidikan informal seperti kursus. Tetapi di samping itu semua tersirat tugas dan tanggung jawab yang sangat besar setelah mereka melakukan pekerjaan mereka, yaitu mau jadi seperti apa anak murid ini setelah semua ini selesai? Apakah “menggantikan” dan mengikuti dengan profesi yang sama seperti ini, lebih buruk lagi, atau lebih baik lagi? Sepertinya pertanyaan itu seumur hidup sulit untuk dijawab.
Untuk anda pembaca tulisan ini yang pernah mempunyai guru, pernahkah kalian berpikir, sedang apakah guru kalian saat ini? Mereka yang dahulu setiap hari dan setiap saat berusaha mengenal, mendidik, mengajar, menolong, dan sayang kepada kalian saat kalian sekolah dan menimba ilmu, apa kabar bapak dan ibu guru? Bagaimana kehidupan kalian sekarang? Apakah masih mengajar seperti dahulu, atau pekerjaan dan pendapat kalian lebih baik lagi, atau malahan lebih buruk?
Dan untuk anda pembaca tulisan ini yang pernah mengajar sebagai tenaga pengajar, guru, dosen, ataupun pekerjaan dan aktivitas sejenisnya, pernahkah kalian berpikir bagaimana kabar anak murid yang kalian ajar dan kalian didik dahulu? Mereka yang dahulu setiap hari dan setiap saat hadir di depan kalian, dengan otak dan kepribadian yang masih kosong – siap diisi apapun, mereka yang nakal, pendiam, pemalu, sulit diatur, sampai pusing anda dengan hanya melihatnya saja, apa kabar kalian ‘nak? Bagaimana kehidupan kalian sekarang? Apakah kalian sudah menjadi apa yang kalian cita – citakan dahulu? Apa kalian memilih profesi yang sama dengan kami? Bagaimanakah dengan ilmu dan pengetahuan yang dahulu kami ajarkan kepada kalian, apakah kalian masih mengingatnya?

Apakah kalian masih ingat dengan saya bapak dan ibu guru?
Apakah kalian masih ingat dengan kami, nak?

Tubuh Karangan
                Saat itu saya sedang dalam perjalanan pulang. Saya baru saja selesai dari bermain musik bersama teman – teman. Hari sudah malam. Lelah kami bermain musik, kami merasa lapar. Sebelum pulang dari tempat kami bermain, teman saya mengajak kami untuk makan dulu di tempat biasa dia makan. Tentu kami menyetujuinya karena malam itu kami belum makan. Kami pun berjalan. Sesampainya kami di tempat yang dimaksud, saya dan teman – teman langsung memarkirkan motor kami dan bersiap memesan dan mengambil makanan. Warung kecil dan sederhana itu bernama “Angkringan Panjer Wengi” Terletak di pinggir jalan tempat yang sudah sangat kami kenal. Suara bising dari kendaraan di jalan raya sepertinya tidak menghalangi kesunyian dan kesederhanaan warung ini. Sangat enak dan nyaman untuk kalian para penggemar makanan murah meriah dengan suasana santai.
                Kamipun memesan makanan dan duduk di tempat yang disediakan. Saat saya hendak mengambil beberapa lauk, ada suara yang bertanya kepada saya apakah saya tinggal di perumahan di dekat situ. Ternyata ibu penjual angkringan tersebut yang bertanya, tentu saja saya jawab iya. Tetapi beliau bertanya kembali, apakah saya dahulu sekolah di Taman Kanak – Kanak (TK) di dekat situ. Saya pun kembali menjawab ya, saya heran mengapa ibu ini tahu. Setelah saya selesai mengambil makanan, beliau bertanya dengan sangat meyakinkan sambil menyebut nama saya. Saya pun menjawab ya dengan sedikit heran dan terkejut, kok ibu ini sampai tahu nama saya? Kemudian beliau sedikit menjelaskan, beliau adalah guru TK saya waktu dulu. Beliau bilang sangat mengenal anak muridnya dengan baik, paling yang berubah hanya tumbuh kumis, jenggot, dan gaya rambut. Saya pun terhening. Luar biasa, bu.
                Saya pun melanjutkan makan saya bersama teman – teman. Setelah itu barulah kami melanjutkan perbincangan kecil tadi. Jujur, saya sama sekali tidak ingat bahwa beliau adalah guru TK saya dahulu. Namanya Bu Endang, dan saya pun mencoba kembali mengingat dengan serius. Memang saya samar – samar mengingat nama beliau, tapi tidak dengan jelas dan utuh. Maklum sudah 15 tahun berlalu.
                Sudah larut malam, saya pun memutuskan untuk mengakhiri perbincangan, saya pun berpamitan dan kamikemudian membayar makanan. Entah mengapa saya jadi mencoba mengingat kenangan saat itu yang masih membekas di benak saya. Tentu saya tidak lupa untuk bilang akan datang kembali kesana.
`               Saya diingatkan kembali oleh teman tentang tugas Bahasa Indonesia (tugas tentang ini). Saya pun berpikir menjadikan Bu Endang inspirasi dalam tugas saya ini. Beberapa hari kemudian setelah selesai bermain musik bersama teman – teman, saya pun kembali singgah di Angkringan Panjer Wengi, tapi kali ini saya datang lebih sore supaya saya bisa lebih lama mengobrol dengan beliau, serta makanan yang ada pun masih lebih lengkap tersedia.
Saya pun sampai di angkringan tempat Bu Endang berada. Setelah memesan dan mengambil makanan, saya pun mulai membuka perbincangan. Saya bertanya kepada beliau sudah berapa lama membuka usaha ini. Ternyata beliau dan keluarga sudah 5 tahun ini membuka usaha angkringan ini. Saya pun sempat berpikir kok saya tidak sadar sudah 5 tahun ada angkringan ini di tempat yang tidak asing lagi untuk saya, mungkin selain jam operasinya malam hari, saya juga tidak terlalu melihat dan memperhatikan karena hanya lewat saja di daerah ini. Saya pun kembali menanyakan bagaimana pekerjaan beliau dahulu, apakah sampai sekarang masih mengajar atau bagaimana. Ternyata beliau sudah tidak lagi mengajar, tetapi posisinya sudah diangkat menjadi staff di yayasan pusat sekolah tempat mengajarnya dahulu. Jadi, dari beliau mengajar di taman kanak – kanak saya dahulu, Taman Kanak – Kanak tersebut adalah cabang dari pusat yang ada di Depok. Selain Taman Kanak – Kanak, yayasan ini juga mempunyai Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Wah berarti posisi beliau sudah lebih baik dong, pikir saya. Dengan menjadi salah satu staff di kantor pusat tempat yayasan itu berdiri, berarti beliau tidak perlu lagi mengajar. Upah yang diterima pastinya lebih baik dari posisinya dahulu yang hanya mengajar di cabang, Taman Kanak – Kanak pula. Awalnya saya berpikir dengan melihat beliau berdagang usaha angkringan ini, di tempat yang kecil dan sederhana ini, taraf kehidupan beliau dan keluarga sudah menurun dari dahulu. Ternyata saya salah besar. Kata – kata beliau berikutnya pun kembali membuat saya kaget dan merasa bersalah sudah mengira pikiran demikian. Saya pun kembali bertanya mengapa dan bagaimana awalnya usaha angkringan ini berdiri. Beliau kembali bercerita, awalnya suami beliaulah yangmembuka usaha ini. Bermula dari suami beliau yang sering “nongkrong” bersama teman – temannya di angkringan di daerah lain, maka terpikirlah untuk membuka usaha seperti ini juga tetapi di daerah sekarang ini, lebih dekat dengan rumah katanya. Saya pun kembali bertanya bagaimana dengan keluarga beliau yang lainnya, anak – anak beliau atau saudara beliau. Beliau pun menjawab, anak – anak saya sudah ada yang menikah dah ikut keluarganya mas. Terus yang satunya sedang di Cikeas bekerja untuk Cikeas TV, yang satu lagi masih berjuang di SMA. Beliau pun menerangkan bahwa yang berjaga di warung ini gantian tidak hanya beliau seorang, terkadang suaminya, saudaranya, temannya, pokoknya yang mengatur suaminya, beliau hanya tinggal berjaga dan memastikan pelanggan nyaman saja dengan makanan yang ada.
                Sembari mengambil lauk tambahan, saya pun kembali bertanya kepada beliau, tentang modal awal dan omset beliau dan keluarga dari usaha ini. Saya kembali dibuat heran dengan jawaban beliau. Modal awal usaha ini yang beliau dan keluarga keluarkan hanya sekitar 1 juta rupiah. Beliau kembali bercerita bahwa gerobak yang mereka dapat berasal dari teman yang sudah tidak berdagang, namun kembali mereka modifikasi. Awalnya beberapa makanan dan minuman mereka memakai sistem menjual kembali, mereka hanya mengambilnya, lalu menjualnya kembali tentu dengan harga yang berbeda. Biarpun begitu, harga makanan dan minuman di tempat ini sangatlah terjangkau dan murah. Omset yang beliau peroleh per bulan pun beliau tidak bisa menjawabya dengan pasti, karena beliau menjawab tidak terlalu ikut campur dalam urusan pendapatan dan sejenisnya. Beliau hanya membantu menjaga, membereskan, dan memastikan usaha mereka ini berjalan dengan baik, dan pelanggan nyaman berada disana. Menurut saya biarpun begitu tetap saja beliau sebagai istri harus tau hal sensitif seperti keuangan ini, begitu juga anak – anak mereka.
                Saya pun kembali mengajukan pertanyaan lokasi rumah tempat tinggal beliau. Beliau menjawab sangat dekat, di belakang bangunan tempat  angkringan ini berada hanya belokan ke 2 dan terpisah beberapa rumah saja. Saya tahu betul daerah itu, sangat dekat sekali dengan lokasi angkringan ini. Tentu tidak sulit mencapainya, apalagi dengan membawa peralatan untuk berdagang, beserta makanan dan minuman yang akan dijual. Perbincangan kami ini ternyata tidak satu arah, beliau pun menanyakan tempat tinggal saya apakah masih di perumahan atau tidak, apakah saya masih ingat dengan guru – guru lainnya, Bu Sri, Bu Neneng, beliau pun menyebutkan nama – nama guru yang dahulu pernah bersama menjadi rekan kerjanya. Saya pun kembali mengingat beberapa nama yang disebut beliau. Waduh, mengingat beliau saja sudah sulit kemarin, sekarang kembali mengingat guru – guru yang lain yang waktu itu pernah mengajar saya. Beliau juga menceritakan beberapa anak murid beliau yang tentunya pernah menjadi anak murid beliau yang kemarin pernah datang ke angkringan ini. Kali ini saya masih ingat nama – nama itu karena yang beliau sebutkan adalah teman – teman saya yang setidaknya kami masih bermain bersama sampai SD. Saya kembali berpikir, sangat luar biasa ingatan Bu Endang ini. Tentunya beliau masih ingat nama saya, nama teman – teman saya, nama teman – teman guru beliau dahulu, padalah anak murid yang beliau ajar pasti sangat banyak dan hal itu sudah sangat lama berlalu.
                Kembali saya memesan minuman, lalu saya sempatkan untuk mengambil gambar di angkringan beliau. Angkringan ini hanya diterangi oleh 1 lampu minyak (lampu tempel) yang orang – orang jaman dahulu sering gunakan di pedesaan, mungkin sekarang juga masih ada. Beberapa orang lain pun silih ganti berdatangan memesan makanan dan minuman kepada beliau disana. Saya pun merasa tak enak meminta foto dengan beliau karena sambil berbincang dengan saya, beliau juga sambil mengambil makanan, membuat minuman, dan melayani beberapa pembeli yang lain yang datang ke angkringan ini. Bu Endang pun kembali mengajukan pertanyaan kepada saya, bagaimana saya sekarang, kerja atau kuliah, bagaimana keluarga saya, apakah saya masih bertemu dan bermain dengan teman – teman saya semasa Taman Kanak – Kanak dahulu. Saya pun menjawab bahwa saya sekarang sedang kuliah di Universitas Gunadarma, sudah semester 5, dan kami sudah pindah rumah ke blok yang berbeda dari rumah kami yang dahulu, tetapi masih dalam 1 perumahan yang sama. Saya pun sudah jarang sekali bertemu dan bermain bersama teman – teman TK dahulu karena di samping kami sudah pindah rumah, SD sampai sekarang kuliah pun kami sudah tidak pernah bertemu lagi.
                Saya melihat beberapa makanan yang kemarin dan hari ini belum saya ambil. Kemudian saya mengambilnya lalu memakannya, sembari bertanya berapa harga makanan yang saya makan ini. Saya mengambil dan memakan sate usus ayam yang ternyata harganya hanya dua ribu rupiah saja.  Tentu harga yang sangat terjangkau dan tidak asing lagi untuk kita. Saya pun penasaran dengan harga makanan yang lain. Ternyata ada kepala ayam goreng yang menarik perhatian saya. Saya pun bertanya kepada Bu Endang berapa harganya. Ternyata harganya hanya dua ribu rupiah saja, sama dengan sate usus ayam tadi. Makanan yang paling mahal adalah sate telur puyuh dengan harga dua ribu lima ratus rupiah. Menu nasi kucing pun sama harganya dengan sate telur puyuh. Saya kembali bertanya mengapa harga makanan ini berbeda. Kemudian beliau menjelaskan, bahwa menu nasi kucing dan sate telur puyuh tidak dibuat sendiri, melainkan diambil dari orang lain lalu dijual kembali. Sementara itu bakwan goreng, tahu dan tempe goreng, tahu dan tempe bacem kepala ayam goreng, serta sate usus dan ampela ayam dibuat sendiri makanya harganya lebih murah. Dahulu ada menu tut – tut ( sejenis keong kecil ) tetapi sekarang sudah sulit didapatkan dan harganya pun menjadi lebih mahal. Beliau memutuskan untuk tidak menyediakannya lagi setelah berunding dengan pihak penyedia tut – tut. Saya pun bertanya lagi mengapa gorengan ini tidak hangat. Beliau menjelaskan makanan itu dimasak dari rumah kemudian dibawa kesini, tidak dimasak disini, termasuk menu nasi kucing. Beliau pun menunjuk ke arah belakang angkringan yang ternyata adalah bangunan sebuah bank cabang pembantu. Tentu awalnya beliau dan keluarga minta izin terlebih dahulu dengan satpam dan pihak pengelola bank disitu bahwa beliau ingin membuka usaha angkringan di halaman depan bank tersebut, tentu diperbolehkan, asalkan angkringan buka setelah semua aktivitas bank selesai yaitu pada malam hari. Lalu halaman depan bank tidak boleh kotor dan bau karena paginya tentu aktiitas bank akan dimulai kembali. Bu Endang pun menyanggupinya dan memutuskan untuk tidak masak di angkringan tersebut. Bahkan telur pun tidak ada karena akan menyebabkan bau amis jika salah menggunakannya. Itulah alasannya makanan gorengan ini tidak hangat, begitu juga makanan lainnya. Yang Bu Endang masak di angkringan hanyalah air panas untuk minum saja. Untuk minuman pun tergolong sedikit, hanya ada beberapa bungkus kopi dan susu kental manis, itu juga hanya sedikit pilihan kopinya. Maka dari itulah dari kemarin saya tidak melihat ada menu mie instan ataupun roti bakar tersedia di angkringan ini.
                Tepat di seberang jalan Angkringan Panjer Wengi ini berada, terdapat beberapa puing dan bekas bangunan yang sudah rubuh dan rata dengan tanah. Itu merupakan bagian dari program pemerintah kota Depok karena berbatasan langsung dengan sungai yang berada tepat di sebelah bawahnya. Saya sebenarnya mengetahui kegiatan itu, tapi saya menanyakan pendapat Bu Endang tentang hal itu. Beliau bersyukur karena bukan angkringan miliknya yang ditertibkan dan digusur. Untung saja angkringannya berada pada sisi seberang jalan, kalau tidak tentu sekarang angkringan ini sudah bernasib sama dengan bangunan di seberang itu, rata dengan tanah.  Kasihan mereka yang sudah lama berjualan di sana, bahkan ada beberapa orang yang membuat tempat dagangnya menjadi rumah tinggal karena sudah lama ada disana, Bu Endang menambahkan.
                Ternyata malam sudah semakin malam. Saya pun mohon pamit dengan Bu Endang seraya menyebutkan makanan dan minuman yang saya konsumsi, lalu Bu Endang pun menyebutkan biayanya. Hanya sebelas ribu rupiah saya, sementara saya daritadi mengambil cukup banyak makanan sampai menambah minuman. Benar – benar murah deh.
                Wawancara yang menjadi perbincangan reuni kecil ini benar – benar menjadi pengalaman kecil saya di saat ini. Mengingatkan saya betapa pentingnya hubungan baik antara kita para murid dengan guru kita dahulu.

Penutup
                Pertemuan dengan mereka yang dahulu pernah berjasa untuk kita, entah itu di jalan, angkutan umum, tempat perbelanjaan, atau dimana pun, terkadang kita sadar tetapi merasa enggan dan tidak percaya diri untuk “menyadarinya”. Melalui tulisan ini, saya mengajak untuk teman – teman yang pastinya sudah lebih dewasa dibanding hari kemarin untuk lebih mengingat dan menghargai mereka yang pernah berjasa untuk hidup kita. Mencoba menghubungi teman – teman lama tidaklah sulit di jaman teknologi canggih seperti sekarang ini. Sama halnya dengan menhubungi guru kita yang dahulu, hanya perlu niat dan kemauan untuk mendapat semua inormasi itu dan bertemu dengan yang kita tuju. Pertemuan mendadak yang saya alami menjadi sumber dari semua ini, bahkan saya pun merasa tidak melakukan wawancara saat saya melakukannya kemarin. Untuk para guru, mungkin mereka yang pernah kalian ajar dan didik sudah menjadi pejabat negara, muncul di media massa, dan menjadi orang yang berpengaruh di negeri ini. Sementara untuk para murid, guru yang pernah mengajar kalian dahulu mungkin saat ini sedang menunggu kabar baik dari kalian, berbagi cerita dan pengalaman kalian saat ini. Jangan lupa berterima kasihlah kepada mereka yang pernah berjasa kepadamu, sekalipun mereka ada pahlawan tanpa tanda jasa.




(mohon maaf kualitas foto tidak baik, dikarenakan kondisi lokasi minim cahaya dan yang bersangkutan sedang melayani pelanggan)

sumber: pengalaman pribadi penulis