TUESDAYS WITH MORRIE (Selasa
Bersama Morrie)
Pelajaran tentang Makna Hidup
Pendahuluan
Tentang Penulis
Mitch Albom adalah penulis untuk Detroit Free Press, dan telah terpilih sebagai kolumnis olahraga
Amerika Nomor Satu sebanyak sepuluh kali oleh Associated Press Sports Editors.
Albom, seorang mantan musisi professional, setiap hari menjadi pembawa acara
pada suatu program radio di WJR, Detroit dan secara teratur tampil dalam acara
ESPN, “The Sports Reporters.” Ia pengarang Bo
dan Fab Five, keduanya menjadi bestseller di AS, dan juga telah
menerbitkan empat kumpulan kolom – kolomnya. Ia tinggal bersama istrinya,
Janie, di Michigan.
Identitas Buku
Judul : TUESDAYS WITH MORRIE (Selasa
Bersama Morrie)
Pelajaran tentang Makna Hidup
Pengarang : Mitch Albom
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tempat Terbit : Jakarta
Tahun Terbit :
2010
Cetakan : Ketujuh, 2010
Ukuran : 13,5 x 20 cm
Jumlah Halaman :
209
ISBN 978-979-22-5021-3
Harga : Rp 40.000
Tentang Buku
Buku ini kupersembahkan kepada adikku, Peter, orang
paling pemberani yang pernah kuketahui.
Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya atas
begitu banyaknya bantuan yang saya peroleh sampai terciptanya buku ini. Atas
kisah – kisah kenangan mereka, kesabaran mereka, dan bimbingan mereka, saya
inging mengucapkan terima kasih kepada Charlotte, Rob, dan Jonathan Schwartz,
Maurie Stein, Charlie Derber, Gordie Fellman, David Schwartz, Rabbi Al Axelrad,
dan banyak lagi teman – teman serta para sejawat Morrie. Saya juga berterima
kasih secara khusus kepada Bill Thomas, editor saya, atas sentuhan tepat yang
diberikannya dalam proyek ini. Dan, sebagaimana biasanya, saya menyampaikan
penghargaan saya kepada David Black, yang sering lebih mempercayai saya
daripada saya sendiri.
Akhirnya,
terima kasih yang paling besar saya haturkan kepada Morrie, atas kesediannya
mengerjakan tesis akhir ini bersama – sama. Pernahkah Anda punya seorang guru
seperti ini?
Gambaran Isi Buku
Judul :
TUESDAYS WITH MORRIE (Selasa Bersama Morrie)
Pelajaran tentang Makna Hidup
Bidang :
Pengalaman Hidup, Perjalanan Hidup, Makna Hidup
Tema :
Pengalaman Menjalani Hidup
Isi pokok : Bagaimana menjalani hidup, menghadapi
berbagai masalah kehidupan, persahabatan, kekeluargaan.
Pada
awalnya, penulis Mitch Albom hanya ingin bertemu Morrie Schwartz untuk
“memenuhi” janji yang dia ucapkan terdahulu kepada dosennya itu pada saat
wisuda kelulusan. secara tidak sengaja dia melihat Morrie Schwartz di televisi
dalam acara Nightline di ABC TV. Lalu dia datang ke rumah keluarga Schwartz
untuk menemui dosennya tersebut. Dan dimulailah inti cerita dari buku ini.
Menurut saya, tujuan
penulisan buku ini untuk keluarga, teman, sahabat, rekan kerja, dan semua orang
yang pernah mengenal Morrie Schwartz. Tetapi setelah Morrie diwawancarai dan
masuk ke dalam acara Nightline di ABC TV, banyak orang di Amerika bahkan di
dunia yang mengenal Morrie sebagai motivasi, semangat hidup, dan acuan untuk
menjalani hidup lebih baik lagi. Bahkan pengalaman tersebut ditulis oleh Mitch
seperti ini :
Surat – surat dari
seluruh dunia terus berdatangan ke alamat Morrie, semua berkat penampilannya
dalam acara “Nightline.” Bilamana keadaan sedang memungkinkan, ia akan duduk
dan mendiktekan jawaban surat – surat itu kepada teman dan keluarga yang
berkumpul untuk mengikuti acara menjawab surat – surat.
Pada suatu hari Minggu ketika anak –
anak lelakinya, Rob dan Jon, sedang di rumah, mereka semua berkumpul di ruang
tengah. Morrie duduk dalam kursi rodanya, kedua kakinya yang kurus ditutupi
selimut. Bila ia merasa kedinginan, salah seorang pembantunya akan menutupkan
sehelai jaket nilon ke pundaknya.
“Apa isi surat yang pertama?” kata
Morrie.
Seorang teman sesama staf pengajar
membacakan sebuah surat pendek dari seorang wanita bernama Nancy, yang telah
kehilangan ibunya karena ALS. Ia menulis surat untuk mengatakan betapa besar
penderitaan yang dialaminya, maka ia tahu bahwa Morrie juga sangat menderita.
“Baiklah,” kata Morrie seusai
pembacaan surat itu. Ia memejamkan matanya. “Mari kita mulai dengan mengatakan,
‘Dear Nancy, Anda membuat saya sangat tersentuh dengan kisah tentang ibu Anda.
Dan saya mengerti penderitaan yang harus Anda lalui sendiri. Semua pihak sama –
sama sedih dan menderita. Mengungkapkan penderitaan terasa baik bagi saya, maka
saya berharap begitu pula yang dapat Anda rasakan.”
“Ayah ada baiknya mengganti baris
yang terakhir,” saran Rob.
Morrie berpikir beberapa saat,
kemudian berkata, “Kau benar. Bagaimana kalau ‘Saya berharap Anda dapat
merasakan manfaat dari pengungkapan isi hati Anda.” Apa ini lebih baik?”
Rob mengangguk.
“Tambahkan ‘terima kasih, Morrie,’”
kata Morrie.
Sebuah surat lain yang dibaca
berasal dari seorang wanita bernama Jane, yang berterima kasih atas inspirasi
yang muncul setelah menyaksikan penampilannya dalam “Nightline.” Wanita itu
menyamakannya dengan seorang nabi.
“Itu pujian yang tinggi sekali,”
sahut seorang temannya. “Seorang nabi.”
Morrie menanggapinya dengan tenang.
Ia jelas tidak setuju dengan penilaian seperti itu. “Ucapkan terima kasih atas
pujiannya. Dan katakana aku senang karena kata – kataku menghasilkan suatu
makna baginya.
“Dan jangan lupa meyertakan salam
‘Terima kasih, Morrie.’”
Ada sepucuk surat dari seorang pria
di Inggris yang telah kehilangan ibunya dan meminta Morrie menjadi media untuk
melakukan kontak dengan ibunya di dunia spiritual. Juga ada sepucuk surat dari
sepasang suami istri yang ingin pergi ke Boston untuk menjenguknya. Ada sebuah
surat panjang dari seorang mantan mahasiswa pasca sarjana yang menulis tentang
pengalamannya setelah meninggalkan universitas. Ia bercerita tentang upaya
bunuh diri yang pernah dilakukannya dan tiga kali melahirkan tetapi semua
bayinya meninggal sebelum lahir. Ia juga bercerita tentang seorang ibu yang
meninggal karena ALS. Surat tersebut mengungkapkan ketakutannya bahwa ia, anak
perempuan wanita itu, juga akan menderita penyakit yang sama. Ceritanya beum
habis. Dua halaman. Tiga halaman. Empat halaman.
Morrie dengan sabar mendengarkan
sampai surat panjang yang penuh dengan cerita duka itu berakhir. Kemudian ia
berkata dengan lembut, “Wah, bagaimana kita akan menjawabnya?”
Semua
diam. Tak lama kemudian, Rob berkata, “Bagaimana kalau, ‘Terima kasih atas surat
Anda yang panjang?’”
Semua
tertawa. Morrie memandang ke arah anak lelakinya itu dengan bangga.
Pembaca
sasaran buku ini menurut saya tidak jelas, secara umum tidak tersirat ataupun
tersurat. Tetapi ketika saya membaca buku ini, buku ini sangatlah tepat untuk
mereka yang mempunyai masalah yang sulit untuk diselesaikan dan berkepanjangan,
depresi, sampai di titik jenuh, dari semua kalangan baik orang kaya, orang
miskin, keluarga, pasangan hidup, teman, sahabat, sampai orang yang baru
dikenal.
Tema
buku ini membuat mereka yang belum membaca menjadi penasaran jika hanya dilihat
dari sinopsis bukunya. Buku ini seakan – akan hanya bercerita tentang
perjalanan hidup Morrie. Tetapi ternyata hanya cukup sampai disitu, banyak pula
pengalaman dari sang penulis Mitch Albom, keluarganya, masa lalunya ketika
masih menjadi mahasiswa ( tentu saja dengan dosennya Morrie Schwartz ), masa
lalunya setelah lulus dari universitas dan bekerja, sampai dia menikah,
berkeluarga, dan bertemu kembali dengan dosennya itu.
Informasi
yang disampaikan pastinya benar karena isi cerita dari buku ini adalah
pengalaman pribadi dari sang penulis.
Hal
– hal baru yang terdapat di dalam isi buku ini salah satunya adalah tentang
penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis) yang waktu itu belum ada obatnya
dan belum dapat disembuhkan. Tentu pembaca, keluarga, teman, sahabat ataupun
mereka yang kenal dengan penderita penyakit yang sama yang diutarakan di dalam
buku ini akan merasa khawatir jika orang yang mereka kenal akan mengalami hal
yang sama dengan yang dialami oleh Morrie Schwartz.
Kelebihan isi buku ini
dibandingkan dengan buku sejenis adalah pengalaman yang disajikan penulis lebih
luas, lebih lama dan lebih panjang. Tidak hanya menceritakan Morrie Schwartz
yang sedang sakit saja, tetapi juga keluarganya, dan kehidupan masa lalu Morrie
Schwartz bersama keluarganya. Penulis juga menuangkan pengalaman pribadinya,
latar belakang dirinya sendiri, dan kehidupan keluarganya. Bahkan Mitch Albom
juga membawa Ted Koppel sebagai pembawa acara “Nigthline” di ABC TV ikut masuk
menjadi tokoh yang tidak kalah penting pada buku ini. Berikut saya kutip
bagaimana kemunculan “pihak ketiga” yang berperan jauh di saat – saat terakhir
hidup Morrie Schwartz.
Audiovisual, Bagian Satu
Pada
bulan Maret tahun 1995, sebuah limusin yang membawa Ted Koppel, pembawa acara
“Nightline” di ABC TV berhenti di bahu jalan yang tertutup salju di depan rumah
Morrie di west Newton, Massachusetts.
Waktu
itu Morrie sudah harus menggunakan kursi roda hamper seharian, dan membiasakan
diri didampingi pembantu untuk mengangkat tubuhnya seperti memindahkan sebuah
karung berat dari kursi ke pembaringan dan dari pembaringan ke kursi. Ia mulai
sering tersedak sewaktu makan, dan mengunyah menjadi pekerjaan berat bagina.
Kakinya lumpuh total; ia tak akan pernah berjalan lagi.
Namun
ia pantang menyerah. Bahkan sebaliknya, gagasan demi gagasan bermunculan dari
kepalanya. Ia mencatat semua buah pikirnya dalam buku, di permukaan amplop, di
sampul map, atau di secarik kertas. Ia menulis untaian – untaian kecil ungkapan
filosofis tentang hidup di bawah bayang – baying kematian : “Terima apa pun
yang sanggup kau kerjakan dan apa pun yang tak sanggup kau kerjakan” ;
“Terimalah masa lalu sebagai masa lalu, tak usah menyangkal atau
menyingkirkannya” ; “Belajarlah memaafkan diri sendiri dan memaafkan orang
lain” ; “Tak ada istilah terlambat untuk mulai.”
Dalam
waktu tidak terlalu lama, ia telah menghasilkan lebih dari lima puluh “kata –
kata bijak,” yang diperlihatkannya kepada teman – temannya. Salah seorang teman,
sesama dosen di Brandeis bernama Maurie Stein, terkesan sekali dengan kata –
kata mutiara tersebut dan mengirimkannya ke Boston Globe, yang selanjutnya
menampilkan sebuah artikel panjang tentang Morrie. Judulnya adalah : KULIAH
AKHIR SEORANG PROFESOR : KEMATIANNYA SENDIRI
Artikel
itu menarik perhatian seorang produser yang menangani acara televise
“Nightline,” yang dengan segera membawanya kepada Koppel di Washington, D.C.
“Lihat
ini,” kata sang produser.
Selanjutnya,
seperti yang Anda ketahui, beberapa kamerawan mulai bekerja di ruang tengah
tempat tinggal Morrie, dan itulah sebabnya limusin Koppel diparkir di depan
rumahnya.
Beberapa
teman dan anggota keluarga Morrie telah berkumpul untuk menyambut Koppel, dan
ketika tokoh selebriti ini masuk ke dalam rumah, gumam dan decak kekaguman
segera memenuhi seluruh ruangan – kecuali Morrie, yang langsung beranjak maju
dengan kursi rodanya, alisna terangkat, lalu menyela keriuhan itu dengan
suaranya yang nyaring dan berwibawa.
“Ted,
ada yang perlu kuketahui dari Anda sebelum aku menyatakan setuju untuk
wawancara ini.”
Suasana
menjadi hening dan agak kikuk, namun kedua orang itu dengan tenang masuk ke dalam
ruang baca. Pintu ditutup.
“Ya
Tuhan,” bisik salah seorang yang berada di luar, “kuharap Ted bisa membujuk Morrie.”
“Kuharap
Morrie baik – baik saja dengan Ted,” sahut yang lain.
Di
ruang kerja, Morrie menyilakan Koppel duduk. Ia melipat lengannya kemudian
tersenyum.
“Coba
ceritakan kepadaku sesuatu yang selalu ada dalam hati Anda,” kata Morrie
memulai percakapan mereka.
“Dalam
hati saya?”
Koppel
menatap sosok tua itu dalam – dalam. “Baiklah,” katanya dengan hati – hati,
lalu ia bercerita tentang anak – anaknya. Mereka selalu ada dalam hatinya,
benarkah?
“Baik,”
kata Morrie. “Sekarang ceritakan sedikit tentang keyakinan Anda.”
Koppel
tampak kikuk. “Saya tak biasa bicara soal ini dengan orang yang baru saya
kenal.”
“Ted,
maut segera menjemputku.” Sahut Morrie, sambil menatap lewat sebelah atas
kacamatanya. “Waktuku tinggal sedikit sekali.”
Koppel
tertawa. Baiklah. Keyakinan. Ia mengutip salah satu bait karya Marcus Aurelius,
sesuatu yang menurutnya paling menyentuh.
Morrie
mengganguk.
“Sekarang
giliran saya yang bertanya,” ujar Koppel. “Apakah Anda pernah menonton acara
saya?”
Morrie
mengangkat bahunya. “Dua kali, mungkin.”
“Dua
kali? Hanya dua kali?”
“Itu
lumayan. ‘Oprah’ baru sekali.”
“Baiklah,
pada dua kali pertunjukkan yang Anda saksikan, apa yang ada dalam pikiran
Anda?”
Morrie
terdiam sejenak. “Sejujurnya?”
“Ya?”
“Menurutku,
Anda seorang narsisis.”
Koppel
terbahak.
“Saya
terlalu buruk untuk menjadi seorang narsisis,” ujarnya.
Tak
lama kemudian kamera yang dipasang di depan perapian ruang tengah itu mulai
beraksi. Koppel dengan setelah birunya yang sangat rapi sedangkan Morrie dengan
sweter kelabu bersahaja. Ia menolak mengenakan busana khusus atau dirias untuk
wawancara ini. Prinsip dasarnya adalah bahwa kematian bukan sesuatu yang
membuat orang berkecil hati; ia bahkan menolak ketika hidungnya akan dibedaki.
Karena
Morrie duduk di kursi roda, kamera tidak pernah memperlihatkan kakinya yang
lumpuh. Dan karena ia masih mampu menggerakkan kedua tangannya – Morrie selalu
bicara sambil menggerakkan kedua tangannya – ia tampak bersemangat sekali
ketika bercerita tentang bagaimana kita menghadapi akhir hayat.
“Ted,”
ujarnya, “waktu semua ini dimulai, aku bertanya kepada diriku sendiri, ‘Apakah
aku akan menarik diri dari dunia, sebagaimana diperbuat oleh kebanyakan orang,
atau terus hidup?” Aku memutuskan untuk terus hidup – atau setidaknya mencoba
untuk terus hidup – dengan cara yang aku inginkan, secara bermartabat, dengan
keberanian, dengan rasa humor, dengan mantap.
“Betul.
Ada kalanya aku menangis, berduka atas penderitaanku sendiri. Ada kalanya aku
begitu marah dan kecewa. Akan tetapi itu tak terlalu lama. Aku segera bangun
dan berseru ‘Aku ingin hidup . . . ‘
“Sejauh
ini, aku masih mampu. Apakah aku akan terus mampu? Aku tidak tahu. Tapi aku
berani bertaruh bahwa aku mampu.”
Koppel
tampak sangat terkesan dengan penuturan Morrie. Ia bertanya tentang sikap rendah
hatinya karena menghadapi proses kematian.
“Betul,
Fred,” kata Morrie tak sengaja, kemudian dengan cepat ia membetulkan. “Maksudku
Ted . . . “
“Itu
contoh sikap rendah hati,” sahut Koppel sambil tertawa.
Keduanya
berbincang tentang apa yang terjadi selewat kematian. Mereka bicara tentang
bagaimana Morrie semakin bergantung kepada orang lain. Untuk makan, duduk dan
pindah dari satu tempat ke tempat lain ia telah memerlukan bantuan orang lain.
Koppel bertanya apakah Morrie takut pada betapa lambat dan menyiksanya proses
kematian yang tengah ia hadapi?
Morrie
terdiam sejenak. Ia ragu apakah ia boleh memberikan jawaban yang apa adanya
dalam tayangan televise ini.
Koppel
menyatakan tidak keberatan.
Morrie
menatap tajam ke arah pewawancara paling terkenal di Amerika itu. “Begini, Ted,
entah kapan, dalam waktu tidak terlalu lama, mungkin harus ada seseorang yang
mencebokiku.”
Acara
tersebut ditayangkan pada hari Jumat malam. Pertunjukkan dimulai dengan
penampilan Ted Koppel dari belakang meja kerjanya di Washington, dengan
suaranya yang mengelegar berwibawa.
“Siapakah
Morrie Schwartz,” katanya, “dan mengapa, selewat malam ini, begitu banyak
diantara Anda akan peduli kepadanya?”.
Seribu
lima ratus kilometer jauhnya dari situ, di rumahku yang berdiri di puncak sebuah
bukit, aku secara iseng memindah – mindah saluran televisi. Dari pesawat
televise itu tiba – tiba terdengar – “Siapakah Morrie Schwartz?” – mendadak aku
seperti mati rasa.
Kekurangan
isi buku ini dilihat dari tema dan tujuannya menurut saya hampir tidak ada,
sangat minor sekali. Hanya hampir sedikit menyimpang dari garis besar cerita
buku ini, yaitu pada saat penulis Mitch Albom menceritakan pengalaman masa
lalunya dan pembagian halaman yang membuat alur cerita menjadi maju – mundur.
Isi
buku ini tidak disajikan secara sistematis dan logis. Diantara 5 sampai 10
halaman alur cerita maju, kemudian alur cerita menjadi mundur ke masa lalu,
setelah itu alur cerita menjadi maju lagi ke masa saat cerita ini di ceritakan.
Pembaca yang sudah terlanjur terlarut dalam cerita harus rela kembali ke masa
lalu mengikuti alur cerita yang dibuat sang penulis. Akibatnya, jika para
pembaca tidak cermat maka akan kebingungan membaca buku ini.
Di
buku ini keterkaitan antarbab sangat – sangat terkait, karena bercerita dari awal
sekali penulis Mitch Albom dengan dosennya Morrie Schwartz, sampai pada
akhirnya sang dosen menghembuskan nafas terakhirnya. Sangat teratur sampai pada
“inti” dari cerita ini.
Sementara
itu, keterkaitan antarsub – bab agak kurang terkait. Karena seperti yang sudah
saya singgung sebelumnya, pada hampir setiap 1 bab terdapat bagian yang
menceritakan tentang cerita pengalaman masa lalu. Sisi positifnya yang dapat
saya ambil adalah cerita tidak monoton dan tidak membosankan karena dapat
“masuk” ke dalam dunia masa lalu. Tetapi sisi negatifnya adalah bila pembaca
tidak bisa dengan cermat membaca bagian demi bagian, pembaca akan bingung
dengan sistem pola maju – mundur seperti ini.
Deskripsi
yang digunakan cukup jelas dan masuk akal pada buku ini. Sang penulis Mitch
Albom menuliskan gambaran Morrie Schwartz sangatlah jelas sehingga saya pun
dapat berangan seolah – olah saya melihat langsung keadaan Morrie Schwartz.
Salah satu contoh detail penulisannya adalah sebagai berikut :
Selasa Ketiga
Belas : Kami Bicara Tentang Hari yang Paling Baik
Morrie ingin agar nanti jasadnya
dikremasi. Ia telah membahasnya bersama Charlotte, dan mereka memutuskan bahwa
itu cara yang paling baik. Rabbi dari Brandeis, Al Axel rad – seorang sahabat
lamanya yang mereka pilih untuk memimpin upacara pelepasan jenazah – telah
datang mengunjungi Morrie, maka morrie menyampaikan kepadanya rencana tentang
kremasi itu.
“Dan Al?”
“Ya?”
“Usahakan agar aku tidak sampai
gosong.”
Rabbi itu tertegun. Tapi Morrie
memang sudah terbiasa bercanda tentang jasmaninya. Semakin dekat dengan akhir
hayatnya, semakin mudah baginya untuk memandangnya hanya sebagai sebuah tempat,
sebuah wadah untuk menyimpan jiwa. Kini tubuh itu telah tinggal tulang bersalut
kulit, maka semakin mudah baginya untuk merelakannya.
“Orang biasanya takut sekali ketika
harus berhadapan dengan mau,” kata Morrie setelah aku duduk. Aku membetulkan
letak mikrofon pada kerah bajunya, tetapi selalu merosot ke bawah. Morrie
terbatuk. Sekarang batuk menyerangnya hamper sepanjang waktu.
“Beberapa hari yang lalu aku membaca
sebuah buku. Kata buku itu, segera setelah seseorang mengembuskan napas
terakhirnya di rumah sakit, perawat akan menutupi tubuh tanpa nyawa itu dengan
kain putih sampai ke kepalanya, kemudian mereka memindahkannya ke atas kereta
dorong dan membawanya ke kamar mayat. Mereka tidak sabar untuk segera
mengenyahkannya dari pandangan. Mereka berbuat seolah – olah kematian adalah
sesuatu yang sangat menular.”
Aku sibuk lagi dengan mikrofonnya.
Morrie menatap tanganku.
“Kematian bukan sesuatu yang
menular, bukan? Kematian sama alaminya dengan hidup itu sendiri. Bagian dari
proses yang kita jalani.”
Ia batuk – batuk lagi, maka aku
segera ke belakangnya dan menunggu, siap menghadapi situasi yang serius.
Belakangan itu Morrie telah melewati malam – malam yang buruk. Malam – malam
yang menakutkan. Ia hanya sempat tidur selama beberapa jam sebelum serangan
batuk yang dahsyat memaksanya bangun. Mendengar itu perawat segera datang ke
kamarnya, menepuk – nepuk punggunya cukup keras agar cairan yang menyumbat
dapat dikeluarkan. Namun, meskipun mereka berhasil membuatnya bernapas dengan
normal lagi – “normal” di sini adalah bernapas dengan bantuan mesin oksigen – siksaan
yang mendera itu mmebuatnya letih sepanjang hari berikutnya.
Selasa itu selang oksien terpasang
pada hidungnya. Aku tidak menyukai pemandangan itu. Bagiku, ini symbol ketidakberdayaan.
Aku ingin merenggutnya.
“Tadi
malam . . . “ kata Morrie lirih.
Ya? Ada apa tadi malam?
“ . . . aku mengalami serangan batuk
yang sangat menyiksa. Sampai berjam – jam. Dan aku sampai tidak yakin apaka aku
sanggup melewatinya. Aku terus merasa tercekik. Tidak bisa bernapas. Suatu saat
aku mulai pening . . . dan yang kurasakan kemudian adalah suatu kedamaian,
sepertinya telah tiba saatku untuk berangkat.”
Matanya melebar. “mitch, itu
perasaan yang paling luarbiasa. Rasa pasrah atas apa pun yang terjadi, rasa
damai. Terbayang olehku mimpi yang kualami sepekan yang lalu. Aku sedang
menyeberangi sebuah jembatan ke suatu tempat yang tak kukenal. Dan aku merasa
siap untuk menempuhnya, ke mana pun tujuannya.”
Tapi dalam kenyataan Anda belum
siap.
Morrie menunggu sesaat. Ia
menggelengkan kepalanya, perlahan. “Belum, aku bleum siap. Tapi rasanya aku
sanggup. Paham?
“Itulah yang selama ini kita cari.
Kepasrahan untuk menerima kematian. Andai pada akhirnya kita tahu, bahwa pada
dasarnya kita mampu menerima kematian dengan pasrah, berarti kita akhirnya juga
dapat mengerjakan yang paling sulit.”
Yang mana?
“Pasrah
menerima hidup.”
Ia memintaku memperhatikan tanaman
kembang sepatu yang terletak di ambang jendela di belakangnya. Aku mengambil
pot kecil itu kemudian mendekatkannya agar ia dapat melihatnya lebih jelas. Ia
tersenyum.
“Mati adalah sesuatu yang alami,”
ujarnya lagi. “Kenyataan bahwa kita terlalu membesar – besarkannya adalah
karena kita tidak memandang diri sendiri sebagai bagian dari alam. Kita mengira
bahwa karena kita manusia berarti kita mempunyai derajat lebih tinggi daripada
alam.”
Ia tersenyum sambil memandangi
tanaman itu.
“Kita tidak seperti itu. Apa pun
yang dilahirkan, pada akhirnya akan mati.” Ia menatapku.
“Kau menerima kenyataan ini?”
Ya.
“Baiklah,” bisiknya, “sekarang
inilah imbalannya. Dalam hal inilah kita berbeda dari tanaman yang indah ini
dan dari hewan.
“Selama kita dapat saling mencintai,
dan mengingat rasa cinta yang kita miliki, kematian tidak dapat membuat kita
harus berpisah. Semua kasih yang kita berikan akan tetap ada. Semua kenangan tentang
itu masih ada. Kita akan hidup terus – dalam hati siapa pun yang pernah kita
sentuh dengan kasih sayang.”
Suaranya mulai serak, yang biasanya
mengandung arti bahwa ia perlu beristirahat barang sejenak. Aku menaruh lagi
pot bunga itu di ambang jendela lalu mematikan alat perekam. Berikut ini
kalimat terakhir yang meluncur dari mulut Morrie sebelum alat perekam kumatikan
:
“Kematian mengakhiri hidup, tetapi
tidak mengakhiri suatu hubungan.”
Ada sebuah kemajuan dalam pengobatan
terhadap ALS : sebuah obat eksperimental baru saja ditemukan dan dinyatakan
boleh digunakan. Obat ini bukan untuk menyembuhkan melainkan untuk menunda,
memperlambat proses pelapukan barangkali selama beberapa bulan. Morrie telah
mendengar tentang pengobatan ini, tetapi keadaanya sudah sangat terlambat. Lagi
pula, obat tersebut baru akan tersedia beberapa bulan kemudian.
“Bukan untukku,” komentar Morrie,
tidak terlalu tertarik.
Selama ia jatuh sakit, Morrie tidak
pernah terlalu berharap bahwa ia akan sembuh. Ia orang yang realistic dalam
memandang penyakitnya. Pada suatu kali, aku bertanya andaikata ada seseorang
yang dapat menyulapnya menjadi sembuh seperti sediakala, apakah ia akan kembali
menjadi orang seperti yang dahulu?
Ia menggelengkan kepalanya. “Aku
mustahil kembali ke masa lampau. Kini aku menjadi orang yang berbeda. Kini aku
orang yang berbeda dalam bersikap. Kini aku orang yang berbeda dalam menghargai
tubuhku, yang dahulu tidak pernah kulakukan secara serius. Kini aku orang yang
berbeda dalam mencoba menjawab pertanyaan – pertanyaan yang senantiasa ada.
“Inilah sebabnya. Begitu perhatian
kita tertuju untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan penting, kita tidak bisa
berpaling dari keasyikan menjawabnya.”
Lalu apa pertanyaan – pertanyaan
penting itu?
“Sebagaimana yang aku lihat,
pertanyaan – pertanyaan ini berhubungan dengan cinta, tanggung jawab,
spiritualitas, kesadaran. Dan andaikata hari ini aku sehat, pertanyaan –
pertanyaan itu akan tetap menjadi permasalahanku. Pertanyaan – pertanyaan itu
senantiasa ada.”
Aku mencoba membayangkan Morrie
dalam keadaan sehat. Aku mencoba membayangkan ia menyingkap selimut yang
menutupi tubuhnya, melangkah ke luar dari kursi, kemudian kami berdia berjalan
– jalan di sekitar rumah, seperti yang biasa kami lakukan di kampus. Tiba – tiba
aku sadar bahwa enam belas tahun telah berlalu sejak terakhir kali aku
melihatnya berdiri. Enam belas tahun?
Bagaimana jika Anda diberi kesehatan
tubuh yang sempurna satu hari saja? Tanyaku. Apa yang akan Anda perbuat?
“Dua puluh empat jam?”
Ya. Dua puluh empat jam.
“Sebentar . . . Aku akan bangun pada
pagi hari, berolahraga sedikit, menikmati sarapa lezat berupa bolu gulung dan
secangkir the, setelah itu berenang, siang hatinya mengundang beberapa orang
teman untuk santap bersama. Aku akan mengundang mereka seorang demi seorang
atau pasangan demi pasangan agar kami dapat berbincang tentang keluarga mereka,
masalah – masalah mereka, dan tentang betapa kami saling berarti satu sama
lain.
“Sesudah itu aku akan berjalan –
jalan, ke sebuah taman dengan pepohonan yang rimbun, menikmati warna warni di
situ, menyaksikan burung – burung, menghayati keindahan alam yang telah begitu
lama tidak dapat aku nikmati.
“Pada malam hari, kami semua akan
pergi ke sebuah restoran dengan masakan pasta yang lezat, mungkin ditambah
bebek panggang – aku suka sekali daging bebek – dan selanjutnya kami berdansa
sepanjang malam. Aku akan berdansa berpasangan dengan semua sahabatku yang
datang ke sana, sampai kelelahan dan tidak berdaya. Kemudian aku akan pulang
dan menikmati tidur yang sangat nyenyak dengan mimpi paling indah.”
Hanya itu?
“Ya. Hanya itu.”
Begitu sederhana. Tanpa satu pun
yang istimewa. Sesungguhnya aku agak kecewa. Aku sendiri membayangkan ia akan
pergi ke Italia atau mengikuti jamuan santap siang dengan Presiden atau
berselancar di pantai atau mencoba apa pun yang aneh. Setelah sekian bulan
terbaring di sana tidak mampu menggerakkan kaki sama sekali – bagaimana mungkin
ia bisa menikmati segala – galanya hanya dalam sehari?
Kemudian aku menyadari bahwa inilah
inti permasalahannya.
Sebelum meninggalkannya hari itu,
Morrie memintaku mengedepankan satu pokok bahasan lagi.
“Tentang adikmu,” katanya.
Sesaat aku seperti mengigil. Aku
tidak menyangka Morrie tahu bahwa masalah ini sedang mengganggu pikiranku. Aku
telah mencoba menghubungi adikku di Spanyol selama berminggu – minggu, dan
belakangan kuketahui – dari salah seorang temannya – bahwa ia terbang bolak
balik ke sebuah rumah sakit di Amsterdam/
“Mitch, aku dapat merasakan sakit
hati ketika kau tidak dapat mendampingi seseorang yang kau sayangi. Tapi kau
juga harus pasrah dengan keinginan adikmu. Barangkali ia hanya tidak ingin
menyusahkanmu. Barangkali ia merasa sanggup memikul beban itu sendirian. Aku
sendiri meminta kepada semua yang aku kenal agar melanjutkan hidup mereka –
tidak usah pusing karena aku akan mati.”
Tapi ia adikku, kataku.
“Aku tahu,” sahut Morrie. “Itu
sebabnya kau sakit hati.”
Dalam benakku terbayang Peter ketika
ia baru delapan tahun, dengan rambut pirang ikalnya yang disisir membentuk
jambul di kepalanya. Terbanyang pula olehku ketika kami bergulat di lapangan di
sebelah rumah, dengan rumput – rumput tajamnyayang terasa menusuk lewat celana
jeans kami. Aku teringat sewaktu ia bergaya sebagai seorang penyanyi di depan
cermin, sambil memegang sikat rambut sebagai mikrofon, juga sewaktu kami
bersembunyi di sebuah ruang sempit di loteng rumah, sementara orangtua kami
mencari ke sana ke mari untuk mengajak kami santap bersama.
Setelah itu aku melihatnya sebagai
seorang dewasa yang tidak berdaya, kurus, ringkih, dengan wajah cekung akibat
kemoterapi yang harus dijalaninya.
Morrie, kataku. Mengapa ia tidak mau
bertemu dengan aku?
Sang profesor menghela napas. Tidak
ada rumus yang pasti untuk suatu hubungan. Segala sesuatunya harus dirundingkan
dengan cara yang lembut, dengan memberi keleluasaan kepada kedua pihak untuk
mendapatkan yang mereka inginkan dan mereka butuhkan, yang dapat mereka perbuat
dan seperti apa hidup yang ingin mereka jalani.
Dalam bisnis, orang berunding untuk
menang. Mereka berunding untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Mungkin kau
terlalu terbiasa dengan pendekatan ini. Namun cinta adalah sesuatu yang
berbeda. Cinta adalah ketika kau peduli dengan situasi yang tengah dihadapi
oleh seseorang dengan kepedulian sama seperti terhadap situasimu sendiri.
“Kau telah melewati masa – masa yang
istimewa bersama adikmu, dan kini semua itu tinggal kenangan. Namun kau ingin
aga semua itu kembali. Kau tak pernah ingin masa – masa indah ini berlalu. Tapi
itulah manusia. Pergi, datang, pergi lagi, datang lagi.”
Aku memandanginya dengan saksama.
Aku menyaksikan kehadiran sang maut dalam dirinya. Dan aku tidak berdaya. “Kau
akan menemukan jalan untuk bersama kembali dengan adikmu,” hibur Morrie.
Bagaimana Anda bisa tahu?
Morrie tersenyum. “Bukankah kau pun
akhirnya kembali kepadaku?”
Ilustrasi yang
digunakan di dalam buku ini sangat memperjelas kosnep atau gagasan penulis
buku. Ilustrasi di dalam buku ini bisa datang dari mana saja, seperti keluarga,
pekerjaan, sampai kembali ke masa lalu ketika penulis Mitch Albom masih duduk
di bangku kuliah. Dituliskan dengan cukup detail bagaimana hubungan Mitch Albom
dengan Morrie Schwartz saat mereka masih menjadi mahasiswa dan dosen secara “resmi”
di Brandeis University.
Menurut saya, penyajian isi buku ini
sangat memotivasi para pembaca untuk terus dan terus membaca atau mempelajari
isi buku ini. Saya seperti ingin cepat mengetahui akhir buku ini, tetapi tidak
ingin melewatkan kata demi kata, kalimat demi kalimat yang dituliskan di buku
ini. Sejenak kata – kata mutiara Morrie Schwartz yang sangat memotivasi dan
penuh makna dari pengalaman hidupnya membuat saya tertegun dan berpikir sesaat,
sebelum saya kembali lagi kepada inti cerita dari buku ini, dan kembali
melanjutkan membaca sampai akhir cerita.
Buku ini tidak dilengkap glosarium
ataupun indeks. Buku ini adalah buku terjemahan, dan pastinya sudah
diterjemahkan ke berbagai bahasa di belahan dunia ini. Untuk penggunaan bahasa
dan hubungan antar kalimatnya menurut saya sudah sangat baik, jalan cerita yang
kuat dan kata – kata yang membangun motivasi yang luar biasa sejenak membuat
saya lupa sisi minoritas pada buku ini.
Kesimpulan
( Kesimpulan ini
terdapat pada buku, bagian terakhir )
Kadang – kadang aku merenungkan
kembali orang macam apa aku ini sebelum dipertemukan kembali dengan profesorku.
Aku ingin bicara kepada orang itu. Aku ingin memberitahunya apa yang semestinya
dicari, kesalahan mana yang semestinya dihindari. Aku ingin memberitahunya agar
bersikap lebih terbuka, tidak hanyut oleh kepalsuan, agar memberikan perhatian
ketika orang yang ia sayangi sedang bicara, seolah – olah itu kali terakhir ia
bisa mendengar suaranya.
Yang paling ingin kukatakan
kepadanya adalah segera memesan tiket pesawat dan pergi mengunjungi seorang
lelaki tua berhati lembut di West Newton, Massachusetts, sesegera mungkin,
sebelum lelaki tua itu jatuh sakit dan kehilangan kemampuannya berdansa.
Aku tahu aku tak dapat berbuat
seperti itu. Tak seorang pun di antara kita mampu memundurkan arah jarum jam
dan mengulang semua yang terlanjur kita perbuat. Akan tetapi satu hal yang
diajarkan oleh Profesor Morrie Schwartz kepadaku adalah : tidak ada istilah “terlambat”
dalam hidup ini. Ia terus berubah sampai hari ketika ia mengucapkan selamat
tinggal.
Tidak lama sepeninggal Morrie, aku
berhasil menghubungi adikku di Spanyol. Kami bicara panjang lebar. Kukatakan kepadanya
aku menghargai keinginannya untuk menjauh, namun yang kuinginkan darinya
hanyalah agar hubungan di antara kami tetap terjalin – hubungan di masa
sekarang, tidak hanya di masa lampau – agar ia tidak hilang sama sekali dari
hidupku.
“Kau saudaraku satu – satunya,”
kataku. ”Kau tak mau kehilanganmu. Aku sayang padamu.”
Aku belum pernah berkata seperti itu
kepadanya.
Beberapa hari kemudian, aku menerima
sebuah pesan melalui mesin fax. Pesan itu diketik dengan huruf besar semuanya,
dengan ejaan dan penempatan tanda baca yang tidak beraturan. Kebiasaan yang
hanya dimiliki oleh adikku.
“HEI AKU BERGABUNG DENGAN ANAK –
ANAK SEMBILAN PULUHAN!” demikian awal suratnya. Ia menuliskan beberapa cerita
singkat, mengenai apa saja yang telah diperbuatnya pekan itu, ditambah beberapa
cerita lucu. Sebagai penutup ia menulis sebagai berikut :
DADAKU RASANYA NYERI DAN SEKARANG
INI AKU SEDANG DIARE – HIDUP INI MENYEBALKAN. KAPAN – KAPAN NGOBROL LAGI?
[tanda
tangan] SORE TUSH
Aku tertawa sampai air mataku
menetes ke pipi.
Buku ini sebagian besar merupakan
gagasan Morrie. Ia menyebutnya “tesis akhir.” Seperti proyek – proyek terbaik
kami sebelumnya, ptoyek ini pun menjadikan kami sangat akrab, dan Morrie senang
sekali ketika beberapa penerbit menyatakan minat mereka, walaupun ia keburu
meninggal sebelum sempat bertemu dengan mereka. Uang muka yang kami peroleh
meringankan beban keluarga Morrie dalam membayar tagihan – tagihan rumah sakit
yang luar biasa, dan kami sangat berterima kasih karenanya.
Judul untuk karya tulis ini kami
putuskan pada suatu hari di ruang kerjanya. Ia senang mengarang nama untuk apa
pun. Ia mempunyai sejumlah gagasan. Akan tetpai ketika aku mengatakan, “Bagaimana
kalau Tuesdays with Morrie?” ia tersenyum dengan wajah sangat ceria, dan aku
tahu bahwa judul ini pas sekali.
Sepeninggal Morrie, aku membuka –
buka sejumlah kotak berisi barang – barang kenangan masa silam. Aku menemukan
kembali sebuah makalah akhir yang telah kutulis untuk salah satu mata
kuliahnya. Tak terasa dua puluh tahun telah berlalu. Di halaman depan, dengan
pensil aku menuliskan sebuah pesan yang kutujkan kepada Morrie, sedangkan
sebagai balasan Morrie menuliskan jawabannya di bawah pesanku.
Punyaku dimulai dengan, “Dear Coach
. . . ”
Jawabannya dimulai dengan, “Dear
Player . . . “
Karena suatu alasanm setiap kali aku
membaca tulisan itu, aku semakin merasakan kehilangan.
Pernahkah Anda mempunyai seorang
guru yang sejati? Orang yang melihat Anda sebagai batu berharga yang belum
diolah, sebuah berlian yang, kearifannya, dapat digosok sampai berkilauan?
Apabila Anda cukup beruntung dapat menemukan jalan menuju guru semacam itu,
Anda akan selalu tahu jalan pulang. Terkadang jalan itu hanya ada dalam pikiran
Anda. Terkadang jalan itu harus sampai ke sisi pembaringan mereka.
Kuliah terakhir profesorku digelar
sekali sepekan, di rumahnya, dekat jendela ruang kerjanya, tempat ia dapat
menikmati tanaman kembang sepatu dengan bunga – bunganya yang merah jambu. Kuliah
ini dijadwalkan setiap Selasa. Tidak ada buku yang harus dibaca. Karena pokok
bahasannya adalah makna hidup. Yang diajarkan melalui pengalaman.
Artinya, kuliah ini tak akan pernah
berakhir.
Entah
apa yang saya ( penulis resensi ) rasakan ketika membuka lembar demi lembar
buku ini, saya terlarut dalam cerita, membayangkan hampir semua detail yang
dituliskan penulis untuk pembacanya, seolah membawa angan kita masuk ke dunia
saat waktu kejadian berlangsung saat itu. Hal ini memang minoritas, tetapi penggunaan
tanda baca pada saat Mitch Albom berbicara sepertinya sangat aneh. Tidak disertai
tanda kutip saat dia berbicara. Saya pun bingung apakah Mitch Albom sedang
bercerita sebagai penulis yang menulis buku ini, ataukah dia sedang berbicara
di cerita buku ini. Buku yang sangat menginspirasi.
Daftar Pustaka
Albom, Mitch, 2011. Tuesdays With Morrie ( Selasa bersama Morrie )
Pelajaran tentang Makna Hidup. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
#TULISAN4 BAHASA INDONESIA 1