Kamis, 31 Desember 2015

Resensi Buku 2

TUESDAYS WITH MORRIE (Selasa Bersama Morrie)
Pelajaran tentang Makna Hidup

Pendahuluan

Tentang Penulis
Mitch Albom adalah penulis untuk Detroit Free Press, dan telah terpilih sebagai kolumnis olahraga Amerika Nomor Satu sebanyak sepuluh kali oleh Associated Press Sports Editors. Albom, seorang mantan musisi professional, setiap hari menjadi pembawa acara pada suatu program radio di WJR, Detroit dan secara teratur tampil dalam acara ESPN, “The Sports Reporters.” Ia pengarang Bo dan Fab Five, keduanya menjadi bestseller di AS, dan juga telah menerbitkan empat kumpulan kolom – kolomnya. Ia tinggal bersama istrinya, Janie, di Michigan.

Identitas Buku
Judul                            : TUESDAYS WITH MORRIE (Selasa Bersama Morrie)
                                       Pelajaran tentang Makna Hidup
Pengarang                    : Mitch Albom
Penerbit                        : PT Gramedia Pustaka Utama
Tempat Terbit              : Jakarta
Tahun Terbit                : 2010
Cetakan                        : Ketujuh, 2010
Ukuran                         : 13,5 x 20 cm
Jumlah Halaman          : 209
ISBN 978-979-22-5021-3
Harga                           : Rp 40.000

Tentang Buku
Buku ini kupersembahkan kepada adikku, Peter, orang paling pemberani yang pernah kuketahui.
Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya atas begitu banyaknya bantuan yang saya peroleh sampai terciptanya buku ini. Atas kisah – kisah kenangan mereka, kesabaran mereka, dan bimbingan mereka, saya inging mengucapkan terima kasih kepada Charlotte, Rob, dan Jonathan Schwartz, Maurie Stein, Charlie Derber, Gordie Fellman, David Schwartz, Rabbi Al Axelrad, dan banyak lagi teman – teman serta para sejawat Morrie. Saya juga berterima kasih secara khusus kepada Bill Thomas, editor saya, atas sentuhan tepat yang diberikannya dalam proyek ini. Dan, sebagaimana biasanya, saya menyampaikan penghargaan saya kepada David Black, yang sering lebih mempercayai saya daripada saya sendiri.
            Akhirnya, terima kasih yang paling besar saya haturkan kepada Morrie, atas kesediannya mengerjakan tesis akhir ini bersama – sama. Pernahkah Anda punya seorang guru seperti ini?


Gambaran Isi Buku

Judul               : TUESDAYS WITH MORRIE (Selasa Bersama Morrie)
                          Pelajaran tentang Makna Hidup
Bidang            : Pengalaman Hidup, Perjalanan Hidup, Makna Hidup
Tema               : Pengalaman Menjalani Hidup
Isi pokok : Bagaimana menjalani hidup, menghadapi berbagai masalah kehidupan, persahabatan, kekeluargaan.

Pada awalnya, penulis Mitch Albom hanya ingin bertemu Morrie Schwartz untuk “memenuhi” janji yang dia ucapkan terdahulu kepada dosennya itu pada saat wisuda kelulusan. secara tidak sengaja dia melihat Morrie Schwartz di televisi dalam acara Nightline di ABC TV. Lalu dia datang ke rumah keluarga Schwartz untuk menemui dosennya tersebut. Dan dimulailah inti cerita dari buku ini.
Menurut saya, tujuan penulisan buku ini untuk keluarga, teman, sahabat, rekan kerja, dan semua orang yang pernah mengenal Morrie Schwartz. Tetapi setelah Morrie diwawancarai dan masuk ke dalam acara Nightline di ABC TV, banyak orang di Amerika bahkan di dunia yang mengenal Morrie sebagai motivasi, semangat hidup, dan acuan untuk menjalani hidup lebih baik lagi. Bahkan pengalaman tersebut ditulis oleh Mitch seperti ini :
Surat – surat dari seluruh dunia terus berdatangan ke alamat Morrie, semua berkat penampilannya dalam acara “Nightline.” Bilamana keadaan sedang memungkinkan, ia akan duduk dan mendiktekan jawaban surat – surat itu kepada teman dan keluarga yang berkumpul untuk mengikuti acara menjawab surat – surat.
            Pada suatu hari Minggu ketika anak – anak lelakinya, Rob dan Jon, sedang di rumah, mereka semua berkumpul di ruang tengah. Morrie duduk dalam kursi rodanya, kedua kakinya yang kurus ditutupi selimut. Bila ia merasa kedinginan, salah seorang pembantunya akan menutupkan sehelai jaket nilon ke pundaknya.
            “Apa isi surat yang pertama?” kata Morrie.
            Seorang teman sesama staf pengajar membacakan sebuah surat pendek dari seorang wanita bernama Nancy, yang telah kehilangan ibunya karena ALS. Ia menulis surat untuk mengatakan betapa besar penderitaan yang dialaminya, maka ia tahu bahwa Morrie juga sangat menderita.
            “Baiklah,” kata Morrie seusai pembacaan surat itu. Ia memejamkan matanya. “Mari kita mulai dengan mengatakan, ‘Dear Nancy, Anda membuat saya sangat tersentuh dengan kisah tentang ibu Anda. Dan saya mengerti penderitaan yang harus Anda lalui sendiri. Semua pihak sama – sama sedih dan menderita. Mengungkapkan penderitaan terasa baik bagi saya, maka saya berharap begitu pula yang dapat Anda rasakan.”
            “Ayah ada baiknya mengganti baris yang terakhir,” saran Rob.
            Morrie berpikir beberapa saat, kemudian berkata, “Kau benar. Bagaimana kalau ‘Saya berharap Anda dapat merasakan manfaat dari pengungkapan isi hati Anda.” Apa ini lebih baik?”
            Rob mengangguk.
            “Tambahkan ‘terima kasih, Morrie,’” kata Morrie.
            Sebuah surat lain yang dibaca berasal dari seorang wanita bernama Jane, yang berterima kasih atas inspirasi yang muncul setelah menyaksikan penampilannya dalam “Nightline.” Wanita itu menyamakannya dengan seorang nabi.
            “Itu pujian yang tinggi sekali,” sahut seorang temannya. “Seorang nabi.”
            Morrie menanggapinya dengan tenang. Ia jelas tidak setuju dengan penilaian seperti itu. “Ucapkan terima kasih atas pujiannya. Dan katakana aku senang karena kata – kataku menghasilkan suatu makna baginya.
            “Dan jangan lupa meyertakan salam ‘Terima kasih, Morrie.’”
            Ada sepucuk surat dari seorang pria di Inggris yang telah kehilangan ibunya dan meminta Morrie menjadi media untuk melakukan kontak dengan ibunya di dunia spiritual. Juga ada sepucuk surat dari sepasang suami istri yang ingin pergi ke Boston untuk menjenguknya. Ada sebuah surat panjang dari seorang mantan mahasiswa pasca sarjana yang menulis tentang pengalamannya setelah meninggalkan universitas. Ia bercerita tentang upaya bunuh diri yang pernah dilakukannya dan tiga kali melahirkan tetapi semua bayinya meninggal sebelum lahir. Ia juga bercerita tentang seorang ibu yang meninggal karena ALS. Surat tersebut mengungkapkan ketakutannya bahwa ia, anak perempuan wanita itu, juga akan menderita penyakit yang sama. Ceritanya beum habis. Dua halaman. Tiga halaman. Empat halaman.
            Morrie dengan sabar mendengarkan sampai surat panjang yang penuh dengan cerita duka itu berakhir. Kemudian ia berkata dengan lembut, “Wah, bagaimana kita akan menjawabnya?”
            Semua diam. Tak lama kemudian, Rob berkata, “Bagaimana kalau, ‘Terima kasih atas surat Anda yang panjang?’”
            Semua tertawa. Morrie memandang ke arah anak lelakinya itu dengan bangga.
Pembaca sasaran buku ini menurut saya tidak jelas, secara umum tidak tersirat ataupun tersurat. Tetapi ketika saya membaca buku ini, buku ini sangatlah tepat untuk mereka yang mempunyai masalah yang sulit untuk diselesaikan dan berkepanjangan, depresi, sampai di titik jenuh, dari semua kalangan baik orang kaya, orang miskin, keluarga, pasangan hidup, teman, sahabat, sampai orang yang baru dikenal.
Tema buku ini membuat mereka yang belum membaca menjadi penasaran jika hanya dilihat dari sinopsis bukunya. Buku ini seakan – akan hanya bercerita tentang perjalanan hidup Morrie. Tetapi ternyata hanya cukup sampai disitu, banyak pula pengalaman dari sang penulis Mitch Albom, keluarganya, masa lalunya ketika masih menjadi mahasiswa ( tentu saja dengan dosennya Morrie Schwartz ), masa lalunya setelah lulus dari universitas dan bekerja, sampai dia menikah, berkeluarga, dan bertemu kembali dengan dosennya itu.
Informasi yang disampaikan pastinya benar karena isi cerita dari buku ini adalah pengalaman pribadi dari sang penulis.
Hal – hal baru yang terdapat di dalam isi buku ini salah satunya adalah tentang penyakit ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis) yang waktu itu belum ada obatnya dan belum dapat disembuhkan. Tentu pembaca, keluarga, teman, sahabat ataupun mereka yang kenal dengan penderita penyakit yang sama yang diutarakan di dalam buku ini akan merasa khawatir jika orang yang mereka kenal akan mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh Morrie Schwartz.
Kelebihan isi buku ini dibandingkan dengan buku sejenis adalah pengalaman yang disajikan penulis lebih luas, lebih lama dan lebih panjang. Tidak hanya menceritakan Morrie Schwartz yang sedang sakit saja, tetapi juga keluarganya, dan kehidupan masa lalu Morrie Schwartz bersama keluarganya. Penulis juga menuangkan pengalaman pribadinya, latar belakang dirinya sendiri, dan kehidupan keluarganya. Bahkan Mitch Albom juga membawa Ted Koppel sebagai pembawa acara “Nigthline” di ABC TV ikut masuk menjadi tokoh yang tidak kalah penting pada buku ini. Berikut saya kutip bagaimana kemunculan “pihak ketiga” yang berperan jauh di saat – saat terakhir hidup Morrie Schwartz.
Audiovisual, Bagian Satu
Pada bulan Maret tahun 1995, sebuah limusin yang membawa Ted Koppel, pembawa acara “Nightline” di ABC TV berhenti di bahu jalan yang tertutup salju di depan rumah Morrie di west Newton, Massachusetts.
Waktu itu Morrie sudah harus menggunakan kursi roda hamper seharian, dan membiasakan diri didampingi pembantu untuk mengangkat tubuhnya seperti memindahkan sebuah karung berat dari kursi ke pembaringan dan dari pembaringan ke kursi. Ia mulai sering tersedak sewaktu makan, dan mengunyah menjadi pekerjaan berat bagina. Kakinya lumpuh total; ia tak akan pernah berjalan lagi.
Namun ia pantang menyerah. Bahkan sebaliknya, gagasan demi gagasan bermunculan dari kepalanya. Ia mencatat semua buah pikirnya dalam buku, di permukaan amplop, di sampul map, atau di secarik kertas. Ia menulis untaian – untaian kecil ungkapan filosofis tentang hidup di bawah bayang – baying kematian : “Terima apa pun yang sanggup kau kerjakan dan apa pun yang tak sanggup kau kerjakan” ; “Terimalah masa lalu sebagai masa lalu, tak usah menyangkal atau menyingkirkannya” ; “Belajarlah memaafkan diri sendiri dan memaafkan orang lain” ; “Tak ada istilah terlambat untuk mulai.”
Dalam waktu tidak terlalu lama, ia telah menghasilkan lebih dari lima puluh “kata – kata bijak,” yang diperlihatkannya kepada teman – temannya. Salah seorang teman, sesama dosen di Brandeis bernama Maurie Stein, terkesan sekali dengan kata – kata mutiara tersebut dan mengirimkannya ke Boston Globe, yang selanjutnya menampilkan sebuah artikel panjang tentang Morrie. Judulnya adalah : KULIAH AKHIR SEORANG PROFESOR : KEMATIANNYA SENDIRI
Artikel itu menarik perhatian seorang produser yang menangani acara televise “Nightline,” yang dengan segera membawanya kepada Koppel di Washington, D.C.
“Lihat ini,” kata sang produser.
Selanjutnya, seperti yang Anda ketahui, beberapa kamerawan mulai bekerja di ruang tengah tempat tinggal Morrie, dan itulah sebabnya limusin Koppel diparkir di depan rumahnya.
Beberapa teman dan anggota keluarga Morrie telah berkumpul untuk menyambut Koppel, dan ketika tokoh selebriti ini masuk ke dalam rumah, gumam dan decak kekaguman segera memenuhi seluruh ruangan – kecuali Morrie, yang langsung beranjak maju dengan kursi rodanya, alisna terangkat, lalu menyela keriuhan itu dengan suaranya yang nyaring dan berwibawa.
“Ted, ada yang perlu kuketahui dari Anda sebelum aku menyatakan setuju untuk wawancara ini.”
Suasana menjadi hening dan agak kikuk, namun kedua orang itu dengan tenang masuk ke dalam ruang baca. Pintu ditutup.
“Ya Tuhan,” bisik salah seorang yang berada di luar, “kuharap Ted bisa membujuk Morrie.”
“Kuharap Morrie baik – baik saja dengan Ted,” sahut yang lain.
Di ruang kerja, Morrie menyilakan Koppel duduk. Ia melipat lengannya kemudian tersenyum.
“Coba ceritakan kepadaku sesuatu yang selalu ada dalam hati Anda,” kata Morrie memulai percakapan mereka.
“Dalam hati saya?”
Koppel menatap sosok tua itu dalam – dalam. “Baiklah,” katanya dengan hati – hati, lalu ia bercerita tentang anak – anaknya. Mereka selalu ada dalam hatinya, benarkah?
“Baik,” kata Morrie. “Sekarang ceritakan sedikit tentang keyakinan Anda.”
Koppel tampak kikuk. “Saya tak biasa bicara soal ini dengan orang yang baru saya kenal.”
“Ted, maut segera menjemputku.” Sahut Morrie, sambil menatap lewat sebelah atas kacamatanya. “Waktuku tinggal sedikit sekali.”
Koppel tertawa. Baiklah. Keyakinan. Ia mengutip salah satu bait karya Marcus Aurelius, sesuatu yang menurutnya paling menyentuh.
Morrie mengganguk.
“Sekarang giliran saya yang bertanya,” ujar Koppel. “Apakah Anda pernah menonton acara saya?”
Morrie mengangkat bahunya. “Dua kali, mungkin.”
“Dua kali? Hanya dua kali?”
“Itu lumayan. ‘Oprah’ baru sekali.”
“Baiklah, pada dua kali pertunjukkan yang Anda saksikan, apa yang ada dalam pikiran Anda?”
Morrie terdiam sejenak. “Sejujurnya?”
“Ya?”
“Menurutku, Anda seorang narsisis.”
Koppel terbahak.
“Saya terlalu buruk untuk menjadi seorang narsisis,” ujarnya.
Tak lama kemudian kamera yang dipasang di depan perapian ruang tengah itu mulai beraksi. Koppel dengan setelah birunya yang sangat rapi sedangkan Morrie dengan sweter kelabu bersahaja. Ia menolak mengenakan busana khusus atau dirias untuk wawancara ini. Prinsip dasarnya adalah bahwa kematian bukan sesuatu yang membuat orang berkecil hati; ia bahkan menolak ketika hidungnya akan dibedaki.
Karena Morrie duduk di kursi roda, kamera tidak pernah memperlihatkan kakinya yang lumpuh. Dan karena ia masih mampu menggerakkan kedua tangannya – Morrie selalu bicara sambil menggerakkan kedua tangannya – ia tampak bersemangat sekali ketika bercerita tentang bagaimana kita menghadapi akhir hayat.
“Ted,” ujarnya, “waktu semua ini dimulai, aku bertanya kepada diriku sendiri, ‘Apakah aku akan menarik diri dari dunia, sebagaimana diperbuat oleh kebanyakan orang, atau terus hidup?” Aku memutuskan untuk terus hidup – atau setidaknya mencoba untuk terus hidup – dengan cara yang aku inginkan, secara bermartabat, dengan keberanian, dengan rasa humor, dengan mantap.
“Betul. Ada kalanya aku menangis, berduka atas penderitaanku sendiri. Ada kalanya aku begitu marah dan kecewa. Akan tetapi itu tak terlalu lama. Aku segera bangun dan berseru ‘Aku ingin hidup . . . ‘
“Sejauh ini, aku masih mampu. Apakah aku akan terus mampu? Aku tidak tahu. Tapi aku berani bertaruh bahwa aku mampu.”
Koppel tampak sangat terkesan dengan penuturan Morrie. Ia bertanya tentang sikap rendah hatinya karena menghadapi proses kematian.
“Betul, Fred,” kata Morrie tak sengaja, kemudian dengan cepat ia membetulkan. “Maksudku Ted . . . “
“Itu contoh sikap rendah hati,” sahut Koppel sambil tertawa.
Keduanya berbincang tentang apa yang terjadi selewat kematian. Mereka bicara tentang bagaimana Morrie semakin bergantung kepada orang lain. Untuk makan, duduk dan pindah dari satu tempat ke tempat lain ia telah memerlukan bantuan orang lain. Koppel bertanya apakah Morrie takut pada betapa lambat dan menyiksanya proses kematian yang tengah ia hadapi?
Morrie terdiam sejenak. Ia ragu apakah ia boleh memberikan jawaban yang apa adanya dalam tayangan televise ini.
Koppel menyatakan tidak keberatan.
Morrie menatap tajam ke arah pewawancara paling terkenal di Amerika itu. “Begini, Ted, entah kapan, dalam waktu tidak terlalu lama, mungkin harus ada seseorang yang mencebokiku.”
Acara tersebut ditayangkan pada hari Jumat malam. Pertunjukkan dimulai dengan penampilan Ted Koppel dari belakang meja kerjanya di Washington, dengan suaranya yang mengelegar berwibawa.
“Siapakah Morrie Schwartz,” katanya, “dan mengapa, selewat malam ini, begitu banyak diantara Anda akan peduli kepadanya?”.
Seribu lima ratus kilometer jauhnya dari situ, di rumahku yang berdiri di puncak sebuah bukit, aku secara iseng memindah – mindah saluran televisi. Dari pesawat televise itu tiba – tiba terdengar – “Siapakah Morrie Schwartz?” – mendadak aku seperti mati rasa.

Kekurangan isi buku ini dilihat dari tema dan tujuannya menurut saya hampir tidak ada, sangat minor sekali. Hanya hampir sedikit menyimpang dari garis besar cerita buku ini, yaitu pada saat penulis Mitch Albom menceritakan pengalaman masa lalunya dan pembagian halaman yang membuat alur cerita menjadi maju – mundur.
Isi buku ini tidak disajikan secara sistematis dan logis. Diantara 5 sampai 10 halaman alur cerita maju, kemudian alur cerita menjadi mundur ke masa lalu, setelah itu alur cerita menjadi maju lagi ke masa saat cerita ini di ceritakan. Pembaca yang sudah terlanjur terlarut dalam cerita harus rela kembali ke masa lalu mengikuti alur cerita yang dibuat sang penulis. Akibatnya, jika para pembaca tidak cermat maka akan kebingungan membaca buku ini.
Di buku ini keterkaitan antarbab sangat – sangat terkait, karena bercerita dari awal sekali penulis Mitch Albom dengan dosennya Morrie Schwartz, sampai pada akhirnya sang dosen menghembuskan nafas terakhirnya. Sangat teratur sampai pada “inti” dari cerita ini.
Sementara itu, keterkaitan antarsub – bab agak kurang terkait. Karena seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, pada hampir setiap 1 bab terdapat bagian yang menceritakan tentang cerita pengalaman masa lalu. Sisi positifnya yang dapat saya ambil adalah cerita tidak monoton dan tidak membosankan karena dapat “masuk” ke dalam dunia masa lalu. Tetapi sisi negatifnya adalah bila pembaca tidak bisa dengan cermat membaca bagian demi bagian, pembaca akan bingung dengan sistem pola maju – mundur seperti ini.
Deskripsi yang digunakan cukup jelas dan masuk akal pada buku ini. Sang penulis Mitch Albom menuliskan gambaran Morrie Schwartz sangatlah jelas sehingga saya pun dapat berangan seolah – olah saya melihat langsung keadaan Morrie Schwartz. Salah satu contoh detail penulisannya adalah sebagai berikut :

Selasa Ketiga Belas : Kami Bicara Tentang Hari yang Paling Baik
            Morrie ingin agar nanti jasadnya dikremasi. Ia telah membahasnya bersama Charlotte, dan mereka memutuskan bahwa itu cara yang paling baik. Rabbi dari Brandeis, Al Axel rad – seorang sahabat lamanya yang mereka pilih untuk memimpin upacara pelepasan jenazah – telah datang mengunjungi Morrie, maka morrie menyampaikan kepadanya rencana tentang kremasi itu.
            “Dan Al?”
            “Ya?”
            “Usahakan agar aku tidak sampai gosong.”
            Rabbi itu tertegun. Tapi Morrie memang sudah terbiasa bercanda tentang jasmaninya. Semakin dekat dengan akhir hayatnya, semakin mudah baginya untuk memandangnya hanya sebagai sebuah tempat, sebuah wadah untuk menyimpan jiwa. Kini tubuh itu telah tinggal tulang bersalut kulit, maka semakin mudah baginya untuk merelakannya.
            “Orang biasanya takut sekali ketika harus berhadapan dengan mau,” kata Morrie setelah aku duduk. Aku membetulkan letak mikrofon pada kerah bajunya, tetapi selalu merosot ke bawah. Morrie terbatuk. Sekarang batuk menyerangnya hamper sepanjang waktu.
            “Beberapa hari yang lalu aku membaca sebuah buku. Kata buku itu, segera setelah seseorang mengembuskan napas terakhirnya di rumah sakit, perawat akan menutupi tubuh tanpa nyawa itu dengan kain putih sampai ke kepalanya, kemudian mereka memindahkannya ke atas kereta dorong dan membawanya ke kamar mayat. Mereka tidak sabar untuk segera mengenyahkannya dari pandangan. Mereka berbuat seolah – olah kematian adalah sesuatu yang sangat menular.”
            Aku sibuk lagi dengan mikrofonnya. Morrie menatap tanganku.
            “Kematian bukan sesuatu yang menular, bukan? Kematian sama alaminya dengan hidup itu sendiri. Bagian dari proses yang kita jalani.”
            Ia batuk – batuk lagi, maka aku segera ke belakangnya dan menunggu, siap menghadapi situasi yang serius. Belakangan itu Morrie telah melewati malam – malam yang buruk. Malam – malam yang menakutkan. Ia hanya sempat tidur selama beberapa jam sebelum serangan batuk yang dahsyat memaksanya bangun. Mendengar itu perawat segera datang ke kamarnya, menepuk – nepuk punggunya cukup keras agar cairan yang menyumbat dapat dikeluarkan. Namun, meskipun mereka berhasil membuatnya bernapas dengan normal lagi – “normal” di sini adalah bernapas dengan bantuan mesin oksigen – siksaan yang mendera itu mmebuatnya letih sepanjang hari berikutnya.
            Selasa itu selang oksien terpasang pada hidungnya. Aku tidak menyukai pemandangan itu. Bagiku, ini symbol ketidakberdayaan. Aku ingin merenggutnya.
“Tadi malam . . . “ kata Morrie lirih.
            Ya? Ada apa tadi malam?
            “ . . . aku mengalami serangan batuk yang sangat menyiksa. Sampai berjam – jam. Dan aku sampai tidak yakin apaka aku sanggup melewatinya. Aku terus merasa tercekik. Tidak bisa bernapas. Suatu saat aku mulai pening . . . dan yang kurasakan kemudian adalah suatu kedamaian, sepertinya telah tiba saatku untuk berangkat.”
            Matanya melebar. “mitch, itu perasaan yang paling luarbiasa. Rasa pasrah atas apa pun yang terjadi, rasa damai. Terbayang olehku mimpi yang kualami sepekan yang lalu. Aku sedang menyeberangi sebuah jembatan ke suatu tempat yang tak kukenal. Dan aku merasa siap untuk menempuhnya, ke mana pun tujuannya.”
            Tapi dalam kenyataan Anda belum siap.
            Morrie menunggu sesaat. Ia menggelengkan kepalanya, perlahan. “Belum, aku bleum siap. Tapi rasanya aku sanggup. Paham?
            “Itulah yang selama ini kita cari. Kepasrahan untuk menerima kematian. Andai pada akhirnya kita tahu, bahwa pada dasarnya kita mampu menerima kematian dengan pasrah, berarti kita akhirnya juga dapat mengerjakan yang paling sulit.”
            Yang mana?
“Pasrah menerima hidup.”
            Ia memintaku memperhatikan tanaman kembang sepatu yang terletak di ambang jendela di belakangnya. Aku mengambil pot kecil itu kemudian mendekatkannya agar ia dapat melihatnya lebih jelas. Ia tersenyum.
            “Mati adalah sesuatu yang alami,” ujarnya lagi. “Kenyataan bahwa kita terlalu membesar – besarkannya adalah karena kita tidak memandang diri sendiri sebagai bagian dari alam. Kita mengira bahwa karena kita manusia berarti kita mempunyai derajat lebih tinggi daripada alam.”
            Ia tersenyum sambil memandangi tanaman itu.
            “Kita tidak seperti itu. Apa pun yang dilahirkan, pada akhirnya akan mati.” Ia menatapku.
            “Kau menerima kenyataan ini?”
            Ya.
            “Baiklah,” bisiknya, “sekarang inilah imbalannya. Dalam hal inilah kita berbeda dari tanaman yang indah ini dan dari hewan.
            “Selama kita dapat saling mencintai, dan mengingat rasa cinta yang kita miliki, kematian tidak dapat membuat kita harus berpisah. Semua kasih yang kita berikan akan tetap ada. Semua kenangan tentang itu masih ada. Kita akan hidup terus – dalam hati siapa pun yang pernah kita sentuh dengan kasih sayang.”
            Suaranya mulai serak, yang biasanya mengandung arti bahwa ia perlu beristirahat barang sejenak. Aku menaruh lagi pot bunga itu di ambang jendela lalu mematikan alat perekam. Berikut ini kalimat terakhir yang meluncur dari mulut Morrie sebelum alat perekam kumatikan :
            “Kematian mengakhiri hidup, tetapi tidak mengakhiri suatu hubungan.”
            Ada sebuah kemajuan dalam pengobatan terhadap ALS : sebuah obat eksperimental baru saja ditemukan dan dinyatakan boleh digunakan. Obat ini bukan untuk menyembuhkan melainkan untuk menunda, memperlambat proses pelapukan barangkali selama beberapa bulan. Morrie telah mendengar tentang pengobatan ini, tetapi keadaanya sudah sangat terlambat. Lagi pula, obat tersebut baru akan tersedia beberapa bulan kemudian.
            “Bukan untukku,” komentar Morrie, tidak terlalu tertarik.
            Selama ia jatuh sakit, Morrie tidak pernah terlalu berharap bahwa ia akan sembuh. Ia orang yang realistic dalam memandang penyakitnya. Pada suatu kali, aku bertanya andaikata ada seseorang yang dapat menyulapnya menjadi sembuh seperti sediakala, apakah ia akan kembali menjadi orang seperti yang dahulu?
            Ia menggelengkan kepalanya. “Aku mustahil kembali ke masa lampau. Kini aku menjadi orang yang berbeda. Kini aku orang yang berbeda dalam bersikap. Kini aku orang yang berbeda dalam menghargai tubuhku, yang dahulu tidak pernah kulakukan secara serius. Kini aku orang yang berbeda dalam mencoba menjawab pertanyaan – pertanyaan yang senantiasa ada.
            “Inilah sebabnya. Begitu perhatian kita tertuju untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan penting, kita tidak bisa berpaling dari keasyikan menjawabnya.”
            Lalu apa pertanyaan – pertanyaan penting itu?
            “Sebagaimana yang aku lihat, pertanyaan – pertanyaan ini berhubungan dengan cinta, tanggung jawab, spiritualitas, kesadaran. Dan andaikata hari ini aku sehat, pertanyaan – pertanyaan itu akan tetap menjadi permasalahanku. Pertanyaan – pertanyaan itu senantiasa ada.”
            Aku mencoba membayangkan Morrie dalam keadaan sehat. Aku mencoba membayangkan ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, melangkah ke luar dari kursi, kemudian kami berdia berjalan – jalan di sekitar rumah, seperti yang biasa kami lakukan di kampus. Tiba – tiba aku sadar bahwa enam belas tahun telah berlalu sejak terakhir kali aku melihatnya berdiri. Enam belas tahun?
            Bagaimana jika Anda diberi kesehatan tubuh yang sempurna satu hari saja? Tanyaku. Apa yang akan Anda perbuat?
            “Dua puluh empat jam?”
            Ya. Dua puluh empat jam.
            “Sebentar . . . Aku akan bangun pada pagi hari, berolahraga sedikit, menikmati sarapa lezat berupa bolu gulung dan secangkir the, setelah itu berenang, siang hatinya mengundang beberapa orang teman untuk santap bersama. Aku akan mengundang mereka seorang demi seorang atau pasangan demi pasangan agar kami dapat berbincang tentang keluarga mereka, masalah – masalah mereka, dan tentang betapa kami saling berarti satu sama lain.
            “Sesudah itu aku akan berjalan – jalan, ke sebuah taman dengan pepohonan yang rimbun, menikmati warna warni di situ, menyaksikan burung – burung, menghayati keindahan alam yang telah begitu lama tidak dapat aku nikmati.
            “Pada malam hari, kami semua akan pergi ke sebuah restoran dengan masakan pasta yang lezat, mungkin ditambah bebek panggang – aku suka sekali daging bebek – dan selanjutnya kami berdansa sepanjang malam. Aku akan berdansa berpasangan dengan semua sahabatku yang datang ke sana, sampai kelelahan dan tidak berdaya. Kemudian aku akan pulang dan menikmati tidur yang sangat nyenyak dengan mimpi paling indah.”
            Hanya itu?
            “Ya. Hanya itu.”
            Begitu sederhana. Tanpa satu pun yang istimewa. Sesungguhnya aku agak kecewa. Aku sendiri membayangkan ia akan pergi ke Italia atau mengikuti jamuan santap siang dengan Presiden atau berselancar di pantai atau mencoba apa pun yang aneh. Setelah sekian bulan terbaring di sana tidak mampu menggerakkan kaki sama sekali – bagaimana mungkin ia bisa menikmati segala – galanya hanya dalam sehari?
            Kemudian aku menyadari bahwa inilah inti permasalahannya.
            Sebelum meninggalkannya hari itu, Morrie memintaku mengedepankan satu pokok bahasan lagi.
            “Tentang adikmu,” katanya.
            Sesaat aku seperti mengigil. Aku tidak menyangka Morrie tahu bahwa masalah ini sedang mengganggu pikiranku. Aku telah mencoba menghubungi adikku di Spanyol selama berminggu – minggu, dan belakangan kuketahui – dari salah seorang temannya – bahwa ia terbang bolak balik ke sebuah rumah sakit di Amsterdam/
            “Mitch, aku dapat merasakan sakit hati ketika kau tidak dapat mendampingi seseorang yang kau sayangi. Tapi kau juga harus pasrah dengan keinginan adikmu. Barangkali ia hanya tidak ingin menyusahkanmu. Barangkali ia merasa sanggup memikul beban itu sendirian. Aku sendiri meminta kepada semua yang aku kenal agar melanjutkan hidup mereka – tidak usah pusing karena aku akan mati.”
            Tapi ia adikku, kataku.
            “Aku tahu,” sahut Morrie. “Itu sebabnya kau sakit hati.”
            Dalam benakku terbayang Peter ketika ia baru delapan tahun, dengan rambut pirang ikalnya yang disisir membentuk jambul di kepalanya. Terbanyang pula olehku ketika kami bergulat di lapangan di sebelah rumah, dengan rumput – rumput tajamnyayang terasa menusuk lewat celana jeans kami. Aku teringat sewaktu ia bergaya sebagai seorang penyanyi di depan cermin, sambil memegang sikat rambut sebagai mikrofon, juga sewaktu kami bersembunyi di sebuah ruang sempit di loteng rumah, sementara orangtua kami mencari ke sana ke mari untuk mengajak kami santap bersama.
            Setelah itu aku melihatnya sebagai seorang dewasa yang tidak berdaya, kurus, ringkih, dengan wajah cekung akibat kemoterapi yang harus dijalaninya.
            Morrie, kataku. Mengapa ia tidak mau bertemu dengan aku?
            Sang profesor menghela napas. Tidak ada rumus yang pasti untuk suatu hubungan. Segala sesuatunya harus dirundingkan dengan cara yang lembut, dengan memberi keleluasaan kepada kedua pihak untuk mendapatkan yang mereka inginkan dan mereka butuhkan, yang dapat mereka perbuat dan seperti apa hidup yang ingin mereka jalani.
            Dalam bisnis, orang berunding untuk menang. Mereka berunding untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Mungkin kau terlalu terbiasa dengan pendekatan ini. Namun cinta adalah sesuatu yang berbeda. Cinta adalah ketika kau peduli dengan situasi yang tengah dihadapi oleh seseorang dengan kepedulian sama seperti terhadap situasimu sendiri.
            “Kau telah melewati masa – masa yang istimewa bersama adikmu, dan kini semua itu tinggal kenangan. Namun kau ingin aga semua itu kembali. Kau tak pernah ingin masa – masa indah ini berlalu. Tapi itulah manusia. Pergi, datang, pergi lagi, datang lagi.”
            Aku memandanginya dengan saksama. Aku menyaksikan kehadiran sang maut dalam dirinya. Dan aku tidak berdaya. “Kau akan menemukan jalan untuk bersama kembali dengan adikmu,” hibur Morrie.
            Bagaimana Anda bisa tahu?
            Morrie tersenyum. “Bukankah kau pun akhirnya kembali kepadaku?”

Ilustrasi yang digunakan di dalam buku ini sangat memperjelas kosnep atau gagasan penulis buku. Ilustrasi di dalam buku ini bisa datang dari mana saja, seperti keluarga, pekerjaan, sampai kembali ke masa lalu ketika penulis Mitch Albom masih duduk di bangku kuliah. Dituliskan dengan cukup detail bagaimana hubungan Mitch Albom dengan Morrie Schwartz saat mereka masih menjadi mahasiswa dan dosen secara “resmi” di Brandeis University.
            Menurut saya, penyajian isi buku ini sangat memotivasi para pembaca untuk terus dan terus membaca atau mempelajari isi buku ini. Saya seperti ingin cepat mengetahui akhir buku ini, tetapi tidak ingin melewatkan kata demi kata, kalimat demi kalimat yang dituliskan di buku ini. Sejenak kata – kata mutiara Morrie Schwartz yang sangat memotivasi dan penuh makna dari pengalaman hidupnya membuat saya tertegun dan berpikir sesaat, sebelum saya kembali lagi kepada inti cerita dari buku ini, dan kembali melanjutkan membaca sampai akhir cerita.
            Buku ini tidak dilengkap glosarium ataupun indeks. Buku ini adalah buku terjemahan, dan pastinya sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa di belahan dunia ini. Untuk penggunaan bahasa dan hubungan antar kalimatnya menurut saya sudah sangat baik, jalan cerita yang kuat dan kata – kata yang membangun motivasi yang luar biasa sejenak membuat saya lupa sisi minoritas pada buku ini.


Kesimpulan

( Kesimpulan ini terdapat pada buku, bagian terakhir )
            Kadang – kadang aku merenungkan kembali orang macam apa aku ini sebelum dipertemukan kembali dengan profesorku. Aku ingin bicara kepada orang itu. Aku ingin memberitahunya apa yang semestinya dicari, kesalahan mana yang semestinya dihindari. Aku ingin memberitahunya agar bersikap lebih terbuka, tidak hanyut oleh kepalsuan, agar memberikan perhatian ketika orang yang ia sayangi sedang bicara, seolah – olah itu kali terakhir ia bisa mendengar suaranya.
            Yang paling ingin kukatakan kepadanya adalah segera memesan tiket pesawat dan pergi mengunjungi seorang lelaki tua berhati lembut di West Newton, Massachusetts, sesegera mungkin, sebelum lelaki tua itu jatuh sakit dan kehilangan kemampuannya berdansa.
            Aku tahu aku tak dapat berbuat seperti itu. Tak seorang pun di antara kita mampu memundurkan arah jarum jam dan mengulang semua yang terlanjur kita perbuat. Akan tetapi satu hal yang diajarkan oleh Profesor Morrie Schwartz kepadaku adalah : tidak ada istilah “terlambat” dalam hidup ini. Ia terus berubah sampai hari ketika ia mengucapkan selamat tinggal.
            Tidak lama sepeninggal Morrie, aku berhasil menghubungi adikku di Spanyol. Kami bicara panjang lebar. Kukatakan kepadanya aku menghargai keinginannya untuk menjauh, namun yang kuinginkan darinya hanyalah agar hubungan di antara kami tetap terjalin – hubungan di masa sekarang, tidak hanya di masa lampau – agar ia tidak hilang sama sekali dari hidupku.
            “Kau saudaraku satu – satunya,” kataku. ”Kau tak mau kehilanganmu. Aku sayang padamu.”
            Aku belum pernah berkata seperti itu kepadanya.
            Beberapa hari kemudian, aku menerima sebuah pesan melalui mesin fax. Pesan itu diketik dengan huruf besar semuanya, dengan ejaan dan penempatan tanda baca yang tidak beraturan. Kebiasaan yang hanya dimiliki oleh adikku.
            “HEI AKU BERGABUNG DENGAN ANAK – ANAK SEMBILAN PULUHAN!” demikian awal suratnya. Ia menuliskan beberapa cerita singkat, mengenai apa saja yang telah diperbuatnya pekan itu, ditambah beberapa cerita lucu. Sebagai penutup ia menulis sebagai berikut :
            DADAKU RASANYA NYERI DAN SEKARANG INI AKU SEDANG DIARE – HIDUP INI MENYEBALKAN. KAPAN – KAPAN NGOBROL LAGI?
                                                            [tanda tangan] SORE TUSH

            Aku tertawa sampai air mataku menetes ke pipi.
            Buku ini sebagian besar merupakan gagasan Morrie. Ia menyebutnya “tesis akhir.” Seperti proyek – proyek terbaik kami sebelumnya, ptoyek ini pun menjadikan kami sangat akrab, dan Morrie senang sekali ketika beberapa penerbit menyatakan minat mereka, walaupun ia keburu meninggal sebelum sempat bertemu dengan mereka. Uang muka yang kami peroleh meringankan beban keluarga Morrie dalam membayar tagihan – tagihan rumah sakit yang luar biasa, dan kami sangat berterima kasih karenanya.
            Judul untuk karya tulis ini kami putuskan pada suatu hari di ruang kerjanya. Ia senang mengarang nama untuk apa pun. Ia mempunyai sejumlah gagasan. Akan tetpai ketika aku mengatakan, “Bagaimana kalau Tuesdays with Morrie?” ia tersenyum dengan wajah sangat ceria, dan aku tahu bahwa judul ini pas sekali.
            Sepeninggal Morrie, aku membuka – buka sejumlah kotak berisi barang – barang kenangan masa silam. Aku menemukan kembali sebuah makalah akhir yang telah kutulis untuk salah satu mata kuliahnya. Tak terasa dua puluh tahun telah berlalu. Di halaman depan, dengan pensil aku menuliskan sebuah pesan yang kutujkan kepada Morrie, sedangkan sebagai balasan Morrie menuliskan jawabannya di bawah pesanku.
            Punyaku dimulai dengan, “Dear Coach . . . ”
            Jawabannya dimulai dengan, “Dear Player . . . “
            Karena suatu alasanm setiap kali aku membaca tulisan itu, aku semakin merasakan kehilangan.
            Pernahkah Anda mempunyai seorang guru yang sejati? Orang yang melihat Anda sebagai batu berharga yang belum diolah, sebuah berlian yang, kearifannya, dapat digosok sampai berkilauan? Apabila Anda cukup beruntung dapat menemukan jalan menuju guru semacam itu, Anda akan selalu tahu jalan pulang. Terkadang jalan itu hanya ada dalam pikiran Anda. Terkadang jalan itu harus sampai ke sisi pembaringan mereka.
            Kuliah terakhir profesorku digelar sekali sepekan, di rumahnya, dekat jendela ruang kerjanya, tempat ia dapat menikmati tanaman kembang sepatu dengan bunga – bunganya yang merah jambu. Kuliah ini dijadwalkan setiap Selasa. Tidak ada buku yang harus dibaca. Karena pokok bahasannya adalah makna hidup. Yang diajarkan melalui pengalaman.
            Artinya, kuliah ini tak akan pernah berakhir.

Entah apa yang saya ( penulis resensi ) rasakan ketika membuka lembar demi lembar buku ini, saya terlarut dalam cerita, membayangkan hampir semua detail yang dituliskan penulis untuk pembacanya, seolah membawa angan kita masuk ke dunia saat waktu kejadian berlangsung saat itu. Hal ini memang minoritas, tetapi penggunaan tanda baca pada saat Mitch Albom berbicara sepertinya sangat aneh. Tidak disertai tanda kutip saat dia berbicara. Saya pun bingung apakah Mitch Albom sedang bercerita sebagai penulis yang menulis buku ini, ataukah dia sedang berbicara di cerita buku ini. Buku yang sangat menginspirasi.


Daftar Pustaka


Albom, Mitch, 2011. Tuesdays With Morrie ( Selasa bersama Morrie ) Pelajaran tentang Makna Hidup. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama


#TULISAN4 BAHASA INDONESIA 1