MOVING FORWARD : Menjadi Pribadi
yang Lebih Baik, Lebih Bermanfaat, Lebih Sukses
Pendahuluan
Tentang Penulis
Paulus
Winarto adalah pemegang dua Rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI), yakni
sebagai pembicara seminar yang pertama kali berbicara dalam seminar di angkasa
dan penulis buku yang petama kali bukunya diluncurkan di angkasa, dalam
penerbangan Jakarta – Bangkok. 4 April 2005.
Ia dikenal sebagai motivational
teacher, leadership trainer, pembicara seminar, konsultan SDM dan penulis
sejumlah buku motivasi dan pengembangan diri best seller, seperti First
Step to be An Entrepeneur, Reach Your Maximum Potensial, The Power of Hope,
Melejit di Usia Muda, dan Starting
Your Leadership Journey.
Putra Pertiwi kelahiran Sorong, tanah Papua, 17
Agustus 1975 ini banyak menimba ilmu kepemimpinan dari guru kepemimpinan Dr.
John C. Maxwell. Ia bahkan disertifikasi sebagai leadership traineroleh EQUIP (lembaga yang didirikan oleh Dr. John
C. Maxwell). Beberapa tahun belakangan ini, Paulus Winarto mulai sangat serius
mendalami self – leadership dengan
satu keyakinan mendasar bahwa semua perubahan harus dimulai dari diri sendiri.
Komitmennya untuk terus bertumbuh dan memberikan nilai
tambah bagi hidup sesame membuatnya sering sekali mendapatkan undangan
berbicara di berbagai forum. Mulai dari kampus, perusahaan, lembaga sosial,
lembaga pemerintahan dan militer, pondok pesantren, hingga gereja
(interdenominasi).
Bersama dua rekannya (Sandy Triyasa dan Chandra Krisma
Winata), Paulus ikut mendirikan HOT MINISTRY (House of Talent), sebuah lembaga
pelatihan soft skill nonprofityang
berfungsi untuk memperlengkapi generasi muda di negeri ini (www.hotministry.org).
Motto hidupnya adalah, ”Hidup Anda akan selalu bermanfaat
sepanjang Anda memiliki hubungan erat dengan Sang Maha Kuasa, senantiasa mau
berubah ke arah yang lebih baik dan mendapatkan dukungan dari orang yang
tepat.”
Alumnus jurusan Teknik Kimia dari Universitas Katolik
Parahyangan Bandung ini pernah berkarya sebagai wartawan, praktisi public relations, dan praktisi
pemasaran. Itulah sebabnya guru marketing, Hermawan Kartajaya, menjulukinya
sebagai “manusia kompleks”.
Paulus dan keluarganya tinggal di Bandung dan dapat
dihubungi melalui e-mail: pwinarto@cbn.net.id atau www.pauluswinarto.com.
JUDUL-JUDUL BUKU KARYA PAULUS WINARTO
Buku tentang Motivasi dan Pengembangan Diri (UNTUK
UMUM):
1. First Step to be An Entrepreneur (Berani Mengambil
Risiko Untuk Menjadi Kaya).
2. Top Secrets of Success (Rahasia Menuju Sukses) –
ditulis bersama Suryadi Sasmita.
3. Reach Your Maximum Potential (Overcome The
Limitations and Be The Best You Can Be).
4. The Leadership Wisdom (Inspirasi Untuk Meningkatkan
Potensi Kepemimpinan Anda).
5. THE POWER OF HOPE (Menaklukkan Ombak Kehidupan).
6. Be Strong (Memantapkan Motivasi Diri).
7. STARTING YOUR LEADERSHIP JOURNEY (Bekal Berharga
Perjalanan Kepemimpinan Anda) – dalam bentuk komik.
8. MAXIMIZING YOUR TALENT (Menemukan dan Memaksimalkan
Potensi Diri Anda).
9. MOVING FORWARD (Menjadi Pribadi Yang Lebih Baik
Lebih Bermanfaat Lebih Sukses).
Buku tentang Motivasi dan
Pengembangan Diri (bernuansa rohani):
1. Ketika Ia Menyapaku (Perjalanan Mencari Tuhan dan
Makna Hidup).
2. The Greatest Motivation from The Word of God (100
Hari Yang Mengubah Hidup Anda).
3. Stand Strong (Melangkah Maju di Masa Sulit).
4. Hidup Yang Berbuah (Tips dan Inspirasi Untuk Hidup
Yang Lebih Bernilai).
5. Melejit di usia muda (Menjadikan Usia Muda Penuh
Makna) – ditulis bersama Sandy Triyasa dan Chandra Krisma Winata.
Buku tentang Press Relations:
1.
How to Handle The Journalist (Beraliansi Dengan Pers Menuju sukses).
Identitas Buku
Judul :
MOVING FORWARD: Menjadi Pribadi yang Lebih Baik,
Lebih Bermanfaat, Lebih Sukses
Pengarang :
Paulus Winarto
Penerbit :
PT BPK Gunung Mulia
Tempat Terbit :
Jakarta
Tahun Terbit :
2011
Cetakan :
Pertama, 2011
Ukuran : 19 cm
Jumlah Halaman : 182
ISBN 978-979-687-929-8
Harga :
Rp 38.000
Tentang Buku
(saya
rasa bagian ini perlu dicantumkan karena bagian ini merupakan ungkapan langsung
dari penulis yang beliau persembahkan buku ini untuk seseorang)
Buku
sederhana ini saya persembahkan kepada Pa Stanley Dewanto
Pa . . . terima kasih banyak karena
pernah menolong saya, termasuk menyelamatkan hidup dan masa depan saya, serta
membuat saya menemukan kembali kebermaknaan diri ini. Sungguh kasih darimu
adalah motivasi yang sangat kuat bagi perjalanan hidup saya, terutama di masa
remaja.
Dirimu ibarat ayah angkat yang
hadir tepat waktu, pada saat saya berada di masa-masa sangat sulit dalam
kehidupan saya sebagai anak broken home yang mengalami sakit keras ketika
berusia tujuh belas tahun.
Bagiku, engkau tidak hanya menjadi
guru matematika di SMA Taruna Bakti Bandung. Engkau adalah mentor, orangtua,
teman diskusi, dan sahabat bagi saya.
Terima kasih dari hati yang paling
tulus atas kasih sayangmu, Pa. Juga terima kasih atas begitu banyak fondasi –
fondasi penting kehidupan yang pernah engkau tanamkan dalam hidup ini.
Saya masih ingat persis ketika kita
pertama kali bertemu di rumahmu sore itu, Pa. Waktu itu engkau bilang, “Saya
ingin menjadi sahabatmu. Saya berjanji tidak akan pernah membohongimu dan saya
berharap engkau tidak akan pernah membohongi saya. Sekali engkau membohongin
saya, persahabatan kita putus.” Nasihat itu akan selalu saya simpan di lubuk
hati yang paling dalam dan tak seorang pun atau situasi apa pun yang akan dapat
merenggutnya. Nasihat itu akan selalu saya jadikan bagian yang tidak pernah
akan bisa terpisahkan dari hidup saya.
Tuhan Memberkatimu dan keluargamu
selalu, Pa.
I love you, Dad . . .
Surat
dari Sahabat
Menulis dan terus menulis! Barangkali itu sudah
menjadi bagian dari hidup saya yang tidak bisa dipisahkan. Menulis adalah
talenta saya yang sebenarnya baru saya sadari ketika saya memasuki usia 27
tahun. Saat buku ini disusun, usia saya telah memasuki 36 tahun dan tidak
terasa sudah 15 buku yang telah saya tulis. Ini adalah buku ke – 15.
Sejak menemukan talenta sebagai
penulis, disertai berbagai proses pembelajaran, kritik, cacian, hingga pujian,
saya kemudian berkomitmen untuk terus belajar dan bertumbuh. Tujuan utama hanya
satu: menjadi lebih baik. Ketika saya menjadi lebih baik, saya sepenuhnya
yakin, hidup saya bisa lebih bermanfaat dan saya bisa lebih sukses dalam hidup
ini.
Sejak saya meyakini bahwa menulis
sungguh merupakan talenta saya, sejak saat itu juga saya membuat komitmen
kepada diri sendiri dan juga kepada Sang Mahaagung, yang telah begitu bermurah
hati dan berkenan memberikan saya talenta istimewa ini, bahwa setiap tahun saya
akan menulis satu buku, sepanjang saya masih diberikan usia dan kesehatan yang
mendukung.
Komitmen ini membuat saya mau tidak
mau harus terus belajar dan memperbaiki diri. Saya terus membaca, mengikuti
seminar atau pengajaran dari para pembicara serta mentor saya. Tidak terasa, di
rumah kami yang sederhana di kawasan perbukitan di daerah Padasuka Atas
Bandung, koleksi buku saya telah mencapai lebih dari 1.500 judul. Jumlahnya
praktis bertambah setiap bulan.
Setelah belajar dan memperbaiki diri,
saya kembali memiliki perasaan yang sama: masih banyak yang belum saya ketahui
dan itu semakin memacu saya untuk terus belajar. Selain itu, di tengah
ketidaksempurnaan diri ini, saya juga bertekad untuk selalu meneruskan apa yang
telah saya pelajari (termasuk dari pengalaman hidup pribadi tentunya) kepada
sesama. Bukankan ilmu yang terus dibagi tidak akan membuat kita sebagai
pemiliknya menjadi miskin? Justru kita akan semakin kaya. Ya, setidaknya kaya
hati karena merasa hidup semakin bermakna.
Saya sangat berterima kasih kepada
sejumlah media yang memberi saya kesempatan amat berharga untuk membagikan ilmu
dan pengalaman saya. Terutama kepada majalah INSPIRASI INDONESIA yang sejak
beberapa tahun silam memberi saya kesempatan menjadi kolumnis tetap. Tulisan –
tulisan dalam buku ini sebagian besar merupakan kumpulan tulisan saya yang
pernah dimuat di majalah tersebut tetapi kali ini saya tampilkan lebih utuh –
bahkan telah saya lengkapi lebih lanjut – karena tidak ada pembatasan halaman
sebagaimana halnya di majalah.
Terima kasih juga kepada mentor
saya, Bapak Andrie Wongso, Motivator Nomor Satu Indonesia yang memberikan saya
kesempatan menulis di majalah LUAR BIASA milik beliau. Beberapa artikel dalam
buku ini pernah dimuat di majalah tersebut.
Akhirnya, semoga goresan tinta yang
ditulis dari kedalaman serta ketulusan hati untuk memberikan nilai tambah yang
positif bagi para pembaca dapat sungguh – sungguh bermanfaat bagi anda.
Dengan penuh kerendahan hati, saya
memohon kritik, saran, atau masukan pembaca demi perbaikan karya – karya saya
di masa mendatang. Terima kasih banyak sebelumnya. Tanpa Anda semua, apa yang
saya lakukan akan sia – sia belaka. Anda dapat selalu menghubungi saya melalui
e - mail pribadi saya : pwinarto@cbn.net.id.
Akhirnya, mari kita jadikan diri
kita lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih sukses! Amin.
Tuhan memberkati selalu.
Gambaran Isi Buku
Judul : Moving Forward : Menjadi
Pribadi yang Lebih Baik,
Lebih Bermanfaat, Lebih Sukses
Lebih Bermanfaat, Lebih Sukses
Bidang : Manajemen,
Pengembangan Diri
Tema : Menjadikan hidup lebih baik,
lebih bermanfaat dan pada akhirnya
lebih sukses
lebih sukses
Isi pokok :
Mencapai kebermaknaan hidup, menciptakan keberuntungan dalam hidup, menjadi pribadi berkarakter, mengampuni dan melepaskan
masa lalu yang kelam,tujuh keberanian
sukses, mengoptimalkan talenta,menjadikan setiap hari
kerja karya emas Anda, bekerja dengan cinta, menjadi pemimpin yang melayani, menjadikan anak buah proaktif, bersinergi.
Menurut saya, tujuan penulisan buku
ini jelas mengikuti isi dari pokok buku ini dengan segudang motivasi dan kata –
kata yang membangkitkan gairah untuk menjalani kehidupan. Tetapi isi dari buku
ini agak menyimpang dari kategori umum yang disandang buku ini. Banyak terdapat
kata – kata dan kalimat – kalimat “hanya” untuk mereka yang sedang bekerja.
Pembaca sasaran buku ini adalah untuk dewasa umum, tetapi ada satu bab –
beserta sub bab dan isinya – yang benar – benar membahas “dunia kerja” antara
atasan (pemimpin) dengan “anak buah” nya. Berikut saya coba kutip dari bab “Menjadikan
Anak Buah Proaktif”
Menjadikan Anak Buah Proaktif
Mia, alumnus
sebuah perguruan tinggi swasta ternama di kota Bandung, sudah setahun bekerja
pada sebuah perusahaan besar. Semula, manajer sumber daya manusia (SDM)
perusahaan tersebut mengira Mia akan bekerja penuh antusias mengingat Mia
adalah mahasiswi yang aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan semasa
kuliah. Sayangnya, seiring perjalanan waktu, terlihat bahwa Mia cenderung pasif
dalam bekerja. Ia termasuk tipe orang yang menunggu perintah dari atasan. Sama
sekali tidak proaktif! Namun jika diawasi, ia akan bekerja dengan baik. Ada apa
dengan Mia?
Hal yang dialami
Mia bisa jadi juga berlangsung di perusahaan atau organisasi Anda. Tidak bisa
kita pungkiri kalau anak buah yang proaktif sangat dibutuhkan. Selain
meringankan pekerjaan atasan, anak buah yang proaktif juga memberikan
kontribusi signifikan terhadap kemajuan perusahaan. Ia akan melontarkan ide –
ide segar dan tidak takut untuk mencoba hal – hal baru.
Sayangnya, tidak
mudah memperoleh anak buah yang proaktif. Untuk itu, saya ingin mengajak kita
untuk menganalisis penyebab anak buah cenderung pasif dalam bekerja. Menurut
pengalaman dan pengamatan saya, ada beberapa hal yang membuat anak buah
cenderung menunggu perintah.
Pertama, karena
pemimpin tidak memberi kesempatan kepada anak buahnya untuk belajar dari
kegagalan. Artinya, jika gagal langsung dicaci – maki, dikenakan hukuman, dan
sebagainya tanpa mencoba bersikap bijaksana dengan melihat sebab – sebab di
balik kegagalan tersebut. Akibatnya, anak buah akan merasa trauma dan bersikap
cari aman saja (alias daripada nanti salah).
Kedua, bisa jadi
anak buah takut bahwa jika ia bertindak proaktif, ia akan dianggap penjilat
atau sok cari muka oleh sang pemimpin atau rekan kerja lainnya, terutama yang
lebih senior. Hal ini biasanya diperparah oleh komentar – komentar negative
oleh para senior seperti, “Jangan sok tahu. Kamu kan anak kemarin sore. Saya
makan garam lebih banyak.” Jika ia tetap bertindak proaktif atau mengajukan ide
– ide segar bagi kemajuan perusahaan, biasanya ia akan dijauhi atau dikucilkan.
Ketiga, tidak
ada sistem reward & punishment yang jelas. Artinya, dalam hal gaji, bonus,
tunjangan, dan seterusnya sama saja antara yang proaktif dan yang tidak
proaktif. Dengan kata lain, situasi yang ada bersifat RMS (Rajin Malas Sama).
Ya, sama saja penghasilan atau fasilitasnya. Inilah yang kemudian membuat anak
buah bersikap KSO (kerja sesuai ongkos) dan mengalami demotivasi dalam bekerja.
Keempat,
lingkungan kerja yang tidak kondusif. Misalnya, pemimpin cenderung suka mengadu
domba anak buah (padahal anak buahnya bukan domba!) sehingga tim yang terbentuk
hanya tim semu yang kompak kalau si pemimpinnya mengawasi langsung.
Kelima,
barangkali anak buah takut bahwa jika ia mengambil inisiatif atau bersikap
proaktif dalam suatu bidang, ia akan diberikan “beban” kerja tambahan padahal
ia tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukannya (misalnya kurang
dilatih) atau ia tidak yakin akan didukung oleh rekan kerja lainnya.
Keenam, barangkali
beban kerja rutin saja sudah sangat padat sehingga waktu yang ada saja sudah
terasa tidak cukup. Apalagi jika harus mengambil inisiatif untuk mengerjakan
hal - hal baru.
Ketujuh,
komunikasi yang macet antara pemimpin dan anak buah serta antara para anak buah
sendiri. Ini mengakibatkan anak buah tidak tahu apa gambaran besar (visi) yang
ingin dicapai organisasi. Biasanya, jika pemimpin berhasil mengkomunikasikan
visi pada saat yang tepat dan visi itu diterima menjadi bagian integral dari
anak buah (visi pemimpin menjadi visi anak buah juga) maka itu akan jadi
momentum sehingga inisiatif lebih mudah muncul. Bagaimanapun orang akan senang
jika ia memiliki kontribusi yang signifikan terhadap upaya pencapaian sebuah
visi.
Kedelapan, bisa
jadi anak buah takut dicap orang aneh atau konyol jika menyampaikan idenya yang
terasa baru, apalagi melakukannya. Mungkin ini dilatarbelakangi asumsi bahwa
ide – ide baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang selama ini ada di
dalam perusahaan.
Kesembilan,
mungkin pengalaman kerja yang tidak enak di masa lampau masih menghantui sang
anak buah. Misalnya, ketika bekerja di perusahaan lama atau pada pemimpin
sebelumnya, ia sangat proaktif dan penuh ide – ide segar. Sayangnya si
pemimpinnya insecure sehingga selalu
berusaha menekan anak buahnya. Pemimpin takut anak buahnya lebih pintar dan
kemudian bisa menggeser sang pemimpin. Padalah sebagai pemimpin, jika anak buah
pintar, pekerjaan pemimpin akan semakin ringan!
Kesepuluh, barangkali anak buah bekerja pada bidang
yang tidak disukai atau tidak begitu dikuasainya. Orang biasanya lebih proaktif
dalam bidang yang disukai dan dikuasainya.
Beberapa
usulan
Dari sebab – sebab di atas, saya
menganjurkan beberapa solusi praktis yang juga pernah saya terapkan agar anak
buah lebih proaktif dalam bekerja.
Pertama,
pemimpin harus berusaha keras untuk membina hubungan baik dengan anak buahnya.
Ini adalah tugas pemimpin. Seperti lokomotif yang menarik gerbong dan bukan
sebaliknya! Ketika para anak buah merasa pemimpin peduli dan ingin mereka lebih
maju, mereka akan lebih tulus dalam membantu pemimpin. Ingatlah, dalam
berhubungan dengan orang lain, faktor hati lebih penting daripada rasio.
Bukankah kita cenderung tidak akan mengikuti sepenuh hati (atau dengan sukarela)
seseorang yang tidak kita sukai? Seorang pemimpin hanya akan sukses jika orang
– orang di sekelilingnya menginginkan ia sukses.
Kedua,
pemimpin harus mengomunikasikan secara jelas visi yang ingin diraih perusahaan.
Orang akan sulit berkontribusi jika mereka tidak tahu mau ke mana mereka akan
dibawa. Si pemimpin juga harus menegaskan bahwa demi tercapai visi tersebut, ia
sangat memerlukan saran, ide, dan masukan dari pada anak buahny. Jika anak buah
dilibatkan, mereka akan merasa memiliki dan lebih berkomitmen.
Ketiga,
ciptakan iklim keterbukaan dan pererat rasa kebersamaan dalam organisasi. Salah
satunya lewat acara – acara informal, misalnya piknik bersama atau sekadar
makan siang bersama. Jangan lupa untuk merayakan kesuksesan – kesuksesan kecil
secara bersama – sama sehingga para anak buah merasa dirinya berarti bagi
organisasi.
Keempat,
tempatkan anak buah pada tempat yang tepat sesuai bidang kompetensi atau bidang
yang disukainya (right man in the right
place). Bagaimana kita tahu bidang tersebut? Bisa dengan sejumlah tes,
termasuk psikotes, tes wawancara, atau diskusi informal pada waktu informal
juga. Belum tentu latar belakang pendidikan formal merupakan bidang kompetensi
atau bidang yang disukainya. Kuncinya di sini adalah komunikasi yang jujur dari
harti ke hati.
Kelima, ciptakan
sistem reward & punishment. Yang
berprestasi harus diberikan penghargaan dan yang salah harus dihukum secara
bijaksana (dengan mempertimbangkan alasan). Reward
tidak selalu dalam bentuk uang. Sebuah tepukan di pundak atau pujian di depan
umum terkadang jauh lebih berarti daripada bonus rupiah.
Keenam, lakukan
pendelegasian sambil terus mengembangkan kompetensi anak buah. Berikan mereka
otoritas dalam batas – batas yang jelas sehingga tidak semua keputusan harus
diambil ole pemimpin tertinggi. Seimbangkan antara otoritas dan tanggung jawab.
Kemudian, jangan lupa untuk terus memperlengkapi atau melatih mereka sehingga
mereka senantiasa bertumbuh ke arah yang lebih baik.
Bagaimana
menurut Anda?
Berikut adalah
bab yang saya maksud. Bahkan pada bagian “beberapa usulan” yang pastinya adalah
solusi atau pemecahan masalah pada bagian ini pun merujuk pada mereka yang
bekerja di sebagai pegawai atau karyawan. Bagaimana dengan wirausahawan dan
juga pekerja seni? Saya rasa pendapat dan pembahasan harus lebih umum
diungkapkan dan diutarakan pada buku ini.
Menurut saya,
pemakaian kata “anak buah” pada bagian ini sangat tidak tepat. Kata – kata
“anak buah” sangat sering sekali ditulis dan dipakai dalam percakapan dan
bahkan pada solusi masalah pada bagian ini. Mungkin kata – kata “anak buah”
dapat diganti dengan kata “anggota” ataupun “junior” dengan menggambarkan kata
– kata yang lebih halus dan positif disbanding sebelumnya yang cenderung
negative atau merendahkan untuk sebagian mereka yang ada di posisi tersebut.
Informasi
yang disampaikan pada buku ini harusnya benar karena berdasarkan pengalaman
pribadi penulis. Tetapi yang saya khawatirkan adalah penulis yang berprofesi
sebagai pembicara dan motivator tidak benar – benar mengalami sepenuhnya apa
yang ditulisnya, melainkan tulisan – tulisan ini didengarkan, dikaji, dan
dipelajari dari beberapa teman, sahabat, guru, kenalan, dan keluarga sang
penulis itu sendiri.
Hal
– hal baru yang terdapat dalam isi buku ini, menurut saya adalah pengalaman
pribadi sang penulis yang dituangkan dalam buku ini, yang belum tentu semua
orang dapat mengalami peristiwa seperti yang dialami penulis yang menjadi acuan
untuk menulis buku ini.
Kelebihan isi buku ini dibandingkan dengan buku
sejenis lainnya adalah seperti yang sudah saya singgung di atas yaitu
pengalaman dan kesaksian yang berbeda yang dialami oleh penulis yang dituangkan
menjadi bagian dari buku ini, contohnya saya kutip dari bagian pertama buku
ini, “Kebermaknaan Hidup”
Kebermaknaan
Hidup
“Saya ini sudah diberi banyak bonus oleh Tuhan.
Berkali – kali kecelakaan tetapi tidak mati – mati. Kalau Tuhan mau panggil
pulang, saya sudah siap. Namun jika Dia masih memberi saya hidup, akan saya
gunakan untuk terus bekerja dan menjaga cucu – cucu saya,” ungkap seorang kakek
berusia 72 tahun. Satu hal yang sangat menarik dari pernyataan kakek tersebut
adalah ia sudah siap dipanggil. Ini sungguh sesuatu yang unik. Bukankah kita
kerap mendengar – bahkan mungkin mengalami - takut mati?
Kakek bernama Gabriel Slamet
Mulyodiharjo ini hidup di sebuah rumah yang sangat sederhana di kota kecamatan
Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Puluhan tahun hidupnya dihabiskan dengan menjadi
aktivis gereja, termasuk mengunjungi orang sakit dan membuat peti mati bagi
orang – orang yang tidak mampun di gerejanya. Semua dilakukannya dengan penuh
sukacita. Lebih dari tujuh belas tahun saya mengenalnya, tak pernah sekali pun
ia mengeluh tentang hidupnya. Sikap selalu bersyukur tampak begitu jelas dalam
keseharian hidupnya.
Di usia senja, semangat yang menyala
itu tak kunjung padam. Ia masih menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai
tukang kayu. Terkadang ia bahkan masih “nekat” naik ke genteng untuk
membetulkan posisi genteng sehingga air hujan tidak masuk ke dalam rumah.
Sesekali masih terlihat ia bersepeda santai menuju Waduk Sempor di atas gunung
(yang berjarak belasan kilometer dari rumah).
Berdia dan membaca tetap menjadi
aktivitas yang tidak pernah dilewatkannya. “Meski sudah tua dan gampang lupa, saya
tetap suka membaca.” Katanya. Kitab Suci baginya sudah seperti pasangan hidup.
“Hanya belas kasihan Tuhan yang membuat saya tetap hidup penuh semangat seperti
hari ini,” lanjutnya.
Di usia yang tidak lagi muda, dengan
gigi yang ompong, rambut memutih, pendengaran yang mulai terganggu dan kerutan
kulit wajah, ia selalu tampak antusias ketika bermain bersama cucu – cucunya.
Bahkan, kerap kali cucunya meminta tidur bersama sang kakek. Intinya, di mana
pun sang kakek berada, sukacita itu selalu hadir bersamanya.
Anda mungkin bertanya, kok saya bisa
tahu detail mengenai sang kakek tersebut? Ya, tentu saja saya tahu, sebab kakek
itu adalah mertua saya sendiri. Ada begitu banyak inspirasi yang saya peroleh
dari hidup beliau yang teramat bersahaja.
Saya masih ingat betul saat kami
berdua berada di ruang tunggu ICU (Intensive Care Unit) RS Harapan Kita,
Jakarta. Pada saat itu, Priscilla, putri kami yang baru berumur 41 hari baru
saja menjalani operasi jantung. Tiba – tiba saja, ayah mertua sungkem kepada
saya. “Mungkin selama ini saya ada salah sama Paulus. Ini waktu yang baik untuk
minta maaf,” katanya dengan penuh ketulusan. Sontak saya kaget dan memintanya
untuk kembali duduk.
Betul kata orang bijak, “Kalau anak
minta maa kepada orangtua itu biasa. Kalau orangtua minta maaf kepada anak, itu
baru luar biasa!” Pengalaman ini kemudian mengakar dalam hidup saya dan membuat
saya berani meminta maaf kepada kedua anak kami, jika saya berbuat salah.
Orangtua toh tetap manusia. Bisa keliru dan berbuat salah!
Dari
sekian banyak pengalaman bersama ayah mertua dan inspirasi hidup yang saya
peroleh darinya, saya menangkap ada satu tema utama yang menjadi benang merah
semuanya itu, yakni hidup harus bermakna.
Suatu ketika, saya pernah berbicara
di hadapan para dosen sebuah kampus swasta terkenal di negeri ini. Sebagian
kecil darik mereka – menurut panitia yang mengundang – adalah orang – orang
yang konon begitu arogan dengan berbagai prestasi dan gelar akademik yang
disandangnya.
Pada saat itu, saya menyampaikan
sesuatu yang membuat beberapa peserta tampak terkejut, bahkan mungkin tidak
suka, “Jika Anda orang hebat, pernah meraih banyak prestasi spektakuler,
terkenal, dan memiliki gelar begitu banyak, itu semua bagus tetapi itu semua
akan sirna begitu Anda dimakamkan. Lima atau sepuluh tahun setelah kepergian
Anda, orang akan melupakan semuanya itu. Satu – satunya yang akan mereka ingat
hanyalah kebaikan – kebaikan yang pernah Anda lakukan untuk mereka.”
Pernahkan Anda mendengar ada orang
yang meminta agar di batu nisannya dituliskan daftar segudang prestasi dan
gelar yang pernah diraihnya? Tentu saja tidak! Sebuah pepatah bijak pernah
mengingatkan, “Semua bayi terlahir ke dunia dengan tangan terkepal tetapi
kehidupan punya cara tersendiri untuk membuat orang melepaskan semuanya itu
ketika ia kembali.”
Anthony Campolo pernah menceritakan
sebuah studi sosiologis mengenai lima puluh orang berusia Sembilan puluh tahun
lebih. Mereka ditanya, seandainya Anda bisa mengulang kembali kehidupan Anda,
apa yang mau Anda lakukan secara berbeda? Tentu ini adalah pertanyaan terbuka
dengan berbagai jawaban berbeda. Namun, yang luar biasa adalah tiga jawaban
teratas.
Pertama, seandainya saya harus
mengulang kembali hidup ini, saya akan lebih banyak merenung. Kedua, seandainya
saya harus mengulang kembali hidup ini, saya akan lebih bayak mengambil risiko.
Dan ketiga, seandainya saya harus mengulang kembali hidup ini, saya akan
mengerjakan hal – hal yang tetap langgeng setelah saya berpulang nanti.
Riset ini seakan memperkuat bahwa
kebermaknaan hidup jauh lebih penting daripada sekadar mengejar ambisi,
kekayaan, popularitas, dan sebagainya. Panjangnya usia bukanlah sebuah jaminan
hidup seseorang akan bermakna. Kebermaknaan hidup baru bisa diraih ketika
seseorang tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, tetapi mau memberikan hati
bahkan hidupnya bagi orang lain.
Bagaimana dengan Anda dan saya?
Bahkan
pada bagian “Optimizing Your Talent” ada pengalaman yang tidak disangka yang
dialami oleh penulis, berikut saya coba jabarkan
Optimizing Your Talent
“Kalau
sampai kamu gatal – gatal, tanggung sendiri ya risikonya,” begitu teguran
seorang senior saat saya masih menjadi jurnalis di sebuah majalah berita
mingguan terkemuka di negeri ini. Saat itu saya sedang ditugaskan untuk meliput
kasus pembantaian massal dukun santet di daerah Ciamis, Jawa Barat, belasan
tahun silam. Demi alasan efisiensi dan sense
of ownershipatas perusahaan, saya berniat memilih penginapan yang
supermurah tetapi sebenarnya tidak representative buat bekerja ( seperti tidak
adanya faksimili atau jaringan internet untuk mengirimkan laporan serta lampu
kamar yang redup ) Lagipula, kamai di penginapan tersebut terasa sumpek,
pengap, dan seprai kasurnya agak kumal.
Teguran penuh kasih ini dilontarkan
sang senior dengan berbagai alasan kuat lainnya. Selain demi kenyamanan, juga
karena faktor kantor telah memberikan alokasi dana penginapan yang besarnya
empat kali dari harga penginapan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar sebagai
jurnalis, kami bisa berkonsentrasi pada pekerjaan dengan sarana yang memadai.
Nah, sepenggal pengalaman di atas
kemudian saya coba refleksikan lebih jauh. Dalam hidup ini, Yang Menugaskan
kita ke dunia ini juga telah membekali kita dengan berbagai macam bekal yang
diperlukan agar hidup kita optimal. Mulai dari kesehatan fisik, kesehatan
mental, keluarga, dan lingkungan yang mendukung, hingga talenta. Nah, sayangnya
terkadang semua bekal tersebut, terutama talenta, tidak kita manfaatkan secara
maksimal sehingga tugas yang diberikan tidak bisa kita selesaikan dengan baik.
Hidup kita menjadi rata – rata alias tidak optimal.
Ya, ini mirip kisah saya di atas
yang berniat memilih penginapan dengan harga hanya seperempat dari jatah yang
diberikan kantor. Jika saya jadi menginap di hotel tersebut, jampir bisa
dipastikan saya sulit beristirahat dengan nyenyak dan akhirnya akan memengaruhi
kinerja saya. Ini tentu akan sangat mengecewakan kantor saya sebab saya bekerja
tidak optimal.
Oleh sebab itu, dalam hidup ini,
kita sebaiknya berusaha untuk mengoptimalkan segala yang ada. Salah satunya
adalah dengan mengoptimalkan talenta yang telah Tuhan percayakan kepada kita.
Ingatlah, semakin besar kepercayaan yang diberikan akan semkain besar pula
tanggung jawab kita untuk mengembangkannya serta semakin besar juga
pertanggungjawaban yang harus kita berikan nantinya.
Kekurangan isi buku ini dilihat dari
temanya adalah beberapa tulisan yang mengacu pada profesi tertentu, tidak
secara umum tujuan tulisan tersebut ditulis.
Pada buku ini, keterkaitan antar bab
sangat minim, memang tema utama buku ini yaitu motivasi, kata – kata, dan
pengalaman yang membangun, dapat dilihat dari judul antar babnya yaitu “More
Than Succeed”, “Be the Best You Can Be”, “ Leadership and Teamwork @ Work”, dan
“Becoming A Better You”. Bahkan keterkaitan antar subbab di dalam babnya juga
sangat minim, karena antar subbab seolah mempunyai cerita dan maknanya sendiri.
Menurut saya, deskripsi yang
dipergunakan tidak cukup jelas tetapi masih dalam kategori maksud akal, karena
kata – kata mutiara yang digunakan tidak dengan jelas menggambarkan deksripsi
itu sendiri.
Ilustrasi dalam buku ini untuk
memperjelas konsep atau gagasan penulis buku sangatlah luas,
penulis menuangkan pengalaman pribadinya selama belum bekerja sebagai penulis
dan pembicara, pengalaman yang didapat saat belajar kepada guru motivasi dan
kepemimpinan dari EQUIP ( lembaga milik
John C. Maxwell ) serta dari John C. Maxwell sendiri. Dalam bagian Dare to Fail
pada Dare to Succeed, di tulis demikian
Dare
to Fail
John
C. Maxwell dalam bukunya Failing Forward menegaskan, perbedaan antara orang
rata- rata dan orang – orang yang berprestasi adalah persepsi dan respons
mereka atas kegagalan ( the difference between average and achieving people is
their perception of and response to failure ). Ya, ada orang yang melihat
sebagai batu sandungan tetapi ada yang melihatnya sebagai batu loncatan. Orang
sukses lebih banyak menemui kegagalan daripada orang gagal dan orang rata –
rata karena mereka lebih banyak mencoba. Dengan kata lain, semakin banyak
mencoba semakin banyak peluang untuk berhasil. Yang terpenting, ketika menemui
kegagalan, jangan hanya berpangku tangan, menyalahkan orang lain ( dan situasi
) apalagi menyerah. Lakukan evaluasi secara serius. Bisa sendiri atau bersama
orang yang lebih tahu dan lebih berpengalaman ( misalnya mentor ) lalu susun
strategi ke depannya dan bangkit lagi!
Selain
itu datang pula dari tokoh terkemuka lainnya di dunia maupun di Indonesia, saya
kutip dari bagian “Menjadi Bermakna” pada subbab “You Can Be A Hero”.
Menjadi
Bermakna
Rick Warren mengingatkan jika Anda tidak melakukan
hal – hal yang bermakna dalam hidup Anda maka tidak ada artinya berapa lama
usia Anda di dunia ini. Bagaimana pun, yang mempunyai makna adalah donasi ( dan
kontribusi Anda dalam hidup ) dan bukannya durasi atau lamanya usia hidup Anda
( if you aren’t doing anything with your life, it doesn’t matter how long it
is. Your donation, not duration, is what matters ).
Senada dengan itu, pejuang hak asasi manusia Martin
Luther King, Jr. pernah dengan tegas menyatakan “Setiap orang bisa menjadi hebat
karena setiap orang bisa melayani. Anda tidak harus memiliki ijazah perguruan
tinggi untuk dapat melayani. Anda tidak perlu menimbang – nimbang dan
memutuskan untuk melayani. Anda hanya perlu hati yang penuh belas kasihan. Jiwa
yang lahir dari kasih.”
Kata – kata seperti mengasihi, melayani, memberikan
kontribusi positif, dan sebagainya adalah wujud hati yang rela untuk memikirkan
sekaligus melakukan sesuatu bagi sesame. Bukankah ini yang dilakukan oleh para
pahlawan dalam hidup kita?
Menjadi pahlawan tidaklah selalu berkaitan dengan
tindakan – tindakan yang heroic, seperti berperang melawan penjajah. Anda dan
saya pun dapat menjadi pahawan bagi orang – orang di sekitar kita, setiap
waktu. Tidak perlu menunggu hari baik untuk melakukannya. Apa yang diutarakan
oleh pengusaha kaos terkenal di Bali, Joger, yaitu Joseph Theodorus Wulianadi,
bisa menjadi bahan refleksi kita bersama. Suatu ketika, ia pernah membagikan
kepada saya definisinya tentang kebaikan. Menurutnya, kebaikan dapat dibagi ke
dalam tiga kelompok dasar.
Kebaikan tingkat pertama atau kebaikan tingkat
dasar, yaitu kebaikan yang “wajib” dimiliki oleh semua orang, tidak peduli
orang apa, agama apa, dari mana, orang kaya maupun miskin. Semua orang yang
mengaku dan ingin diakui sebagai orang baik, sudah seharusnyalah tidak bikin
susah orang, dalam arti janganlah sampai bikin susah orang lain. “Tapi juga
jangan sampai bin susah diri kita sendiri, karena diri kita sendiri kan juga
orang, bukan orong – orong,” sambungnya.
Kebaikan tingkat dua adalah kebaikan orang “kaya”
yang sebaiknya kita lakukan hanya setelah kita berhasil memiliki dan
mengamalkan kebaikan tingkat dasar, dalam arti setelah benar – benar tidak
susah lagi, berkecukupan, dan sudah tidak bikin susah orang lain lagi, atau
sudah senang dan masih punya kelebihan yang maslahat ( waktu, tenaga, pikiran,
maupun dana ). Manfaatkanlah kelebihan milik kita itu untuk membantu pihak –
pihak yang pantas, perlu dan mau menerima bantuan dari kita secar wajar ( tidak
kurang ajar ).
Selanjutnya, kebaikan tingkat tiga alias kebaikan
tingkat “orang suci” adalah kebaikan tanpa syarat, di mana seseorang bersedia
mengorbankan dirinya sendiri ( jiwa raga maupun harta ) demi orang lain. Bersedia
susah, hancur, miskin, sakit, atau bahkan mati, demi kesenangan, pertumbuhan,
kemakmuran, kesembuhan, kejayaan, dan kehidupan pihak lain.
“Bagi saya, kebaikan tingkat tiga ini adalah
kebaikan yang agak terlalu tinggi, sehingga belum pantas dan juga belum perlu
kita dukung, tapi juga tidak berhak kita larang – larang atau halang – halangi,”
ujar Joseph Theodorus Wulianadi.
Latar bekakang penulis buku sangat mempengaruhi gaya
penyajian buku. Latar belakang penulis yang pernah bekerja sebagai jurnalis dan
sering menulis jurnal, artikel, dan laporan memudahkan beliau dalam penulisan
bukunya sampai sekarang ini. Sistem kejar waktu pun sepertinya tak menjadi
masalah bagi penulis karena saat bekerja sebagai jurnalis, bekejaran dengan
waktu sudah menjadi kewajibannya, apalagi saat berhubungan dengan orang penting
seperti pejabat pemerintahan dan staff jajarannya.
Rujukan atau kepustakaan yang digunakan menurut saya
cukup mutakhir dan relevan karena penulis lebih banyak bersumber pada sumber
dan narasumber internasional yang pastinya sudah terbukti di dunia seperti ini.
Buku ini
tidak dilengkapi oleh glosarium ataupun indeks sama sekali. Banyak kata – kata berbahasa
inggris yang tentunya tidak semua orang mengerti apa maksudnya. Seharusnya disertakan
pengertian di sebelah kata yang disebutkan, jadi selain membaca istilah dalam Bahasa
Inggris, pembaca juga dapat mengerti arti sebenarnya dalam Bahasa Indonesia dan
dapat melakukannya sesuai dengan maksud dan tujuan dari bahasa atau istilah
tersebut.
Biarpun sedikit dan minoritas, tetapi masih terdapat
kata – kata atau penulisan yang salah pada buku ini. Untungnya, kata atau
penulisan yang salah tersebut tidak mempengaruhi arti dan pengertian yang
dimaksud dari kalimat tempat kata tersebut berada.
Kesimpulan
Kesimpulannya
adalah, buku Moving Forward : Menjadi Pribadi yang Lebih Baik, Lebih
Bermanfaat, Lebih Sukses karya Paulus Winarto ini sangat layak untuk dibaca
oleh semua kalangan dewasa. Buku ini mencakup semua keadaan, perasaan,
kebutuhan, dan kehidupan dewasa ini, dengan segala problematika dan masalah
yang ada. Kuncinya tidak hanya dibaca, dan dipahami, tetapi harus didiskusikan
dan dilaksanakan. Terlebih lagi pada buku ini terdapat bagian yang diharapkan
dibaca di akhir tahun ( bertepatan dengan saya yang mengerjakan tulisan resensi
ini pada akhir tahun, dan juga membaca buku ini sebagai bahan sumber resensi
saya ) yang tentunya menambah fungsi buku ini sebagai motivasi dan ide untuk
perencanaan dan resolusi yang akan dilaksanakan di tahun mendatang. Terima
Kasih, selamat membaca.
Daftar Pustaka
Winarto,
Paulus, 2011. Moving
Forward : Menjadi Pribadi yang Lebih Baik, Lebih Bermanfaat, Lebih Sukses.
Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
#TULISAN3 BAHASA INDONESIA 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar