Kamis, 31 Desember 2015

Resensi Buku 1


MOVING FORWARD : Menjadi Pribadi yang Lebih Baik, Lebih Bermanfaat, Lebih Sukses

Pendahuluan

Tentang Penulis
Paulus Winarto adalah pemegang dua Rekor dari Museum Rekor Indonesia (MURI), yakni sebagai pembicara seminar yang pertama kali berbicara dalam seminar di angkasa dan penulis buku yang petama kali bukunya diluncurkan di angkasa, dalam penerbangan Jakarta – Bangkok. 4 April 2005.
            Ia dikenal sebagai motivational teacher, leadership trainer, pembicara seminar, konsultan SDM dan penulis sejumlah buku motivasi dan pengembangan diri best seller, seperti First Step to be An Entrepeneur, Reach Your Maximum Potensial, The Power of Hope, Melejit di Usia Muda, dan Starting Your Leadership Journey.
            Putra Pertiwi kelahiran Sorong, tanah Papua, 17 Agustus 1975 ini banyak menimba ilmu kepemimpinan dari guru kepemimpinan Dr. John C. Maxwell. Ia bahkan disertifikasi sebagai leadership traineroleh EQUIP (lembaga yang didirikan oleh Dr. John C. Maxwell). Beberapa tahun belakangan ini, Paulus Winarto mulai sangat serius mendalami self – leadership dengan satu keyakinan mendasar bahwa semua perubahan harus dimulai dari diri sendiri.
            Komitmennya untuk terus bertumbuh dan memberikan nilai tambah bagi hidup sesame membuatnya sering sekali mendapatkan undangan berbicara di berbagai forum. Mulai dari kampus, perusahaan, lembaga sosial, lembaga pemerintahan dan militer, pondok pesantren, hingga gereja (interdenominasi).
            Bersama dua rekannya (Sandy Triyasa dan Chandra Krisma Winata), Paulus ikut mendirikan HOT MINISTRY (House of Talent), sebuah lembaga pelatihan soft skill nonprofityang berfungsi untuk memperlengkapi generasi muda di negeri ini (www.hotministry.org).
            Motto hidupnya adalah, ”Hidup Anda akan selalu bermanfaat sepanjang Anda memiliki hubungan erat dengan Sang Maha Kuasa, senantiasa mau berubah ke arah yang lebih baik dan mendapatkan dukungan dari orang yang tepat.”
            Alumnus jurusan Teknik Kimia dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini pernah berkarya sebagai wartawan, praktisi public relations, dan praktisi pemasaran. Itulah sebabnya guru marketing, Hermawan Kartajaya, menjulukinya sebagai “manusia kompleks”.
            Paulus dan keluarganya tinggal di Bandung dan dapat dihubungi melalui e-mail: pwinarto@cbn.net.id atau www.pauluswinarto.com.


JUDUL-JUDUL BUKU KARYA PAULUS WINARTO

Buku tentang Motivasi dan Pengembangan Diri (UNTUK UMUM):

1.      First Step to be An Entrepreneur (Berani Mengambil Risiko Untuk Menjadi Kaya).
2.      Top Secrets of Success (Rahasia Menuju Sukses) – ditulis bersama Suryadi Sasmita.
3.      Reach Your Maximum Potential (Overcome The Limitations and Be The Best You Can Be).
4.      The Leadership Wisdom (Inspirasi Untuk Meningkatkan Potensi Kepemimpinan Anda).
5.      THE POWER OF HOPE (Menaklukkan Ombak Kehidupan).
6.      Be Strong (Memantapkan Motivasi Diri).
7.      STARTING YOUR LEADERSHIP JOURNEY (Bekal Berharga Perjalanan Kepemimpinan               Anda) – dalam bentuk komik.
8.      MAXIMIZING YOUR TALENT (Menemukan dan Memaksimalkan Potensi Diri Anda).
9.      MOVING FORWARD (Menjadi Pribadi Yang Lebih Baik Lebih Bermanfaat Lebih Sukses).

Buku tentang Motivasi dan Pengembangan Diri (bernuansa rohani):

1.      Ketika Ia Menyapaku (Perjalanan Mencari Tuhan dan Makna Hidup).
2.      The Greatest Motivation from The Word of God (100 Hari Yang Mengubah Hidup Anda).
3.      Stand Strong (Melangkah Maju di Masa Sulit).
4.      Hidup Yang Berbuah (Tips dan Inspirasi Untuk Hidup Yang Lebih Bernilai).
5.      Melejit di usia muda (Menjadikan Usia Muda Penuh Makna) – ditulis bersama Sandy Triyasa dan       Chandra Krisma Winata.

Buku tentang Press Relations:

1. How to Handle The Journalist (Beraliansi Dengan Pers Menuju sukses).


Identitas Buku
Judul                           : MOVING FORWARD: Menjadi Pribadi yang Lebih Baik,
              Lebih  Bermanfaat, Lebih Sukses
Pengarang                   : Paulus Winarto
Penerbit                       : PT BPK Gunung Mulia
Tempat Terbit             : Jakarta
Tahun Terbit               : 2011
Cetakan                       : Pertama, 2011
Ukuran                        : 19 cm
Jumlah Halaman         : 182
ISBN 978-979-687-929-8                              
Harga                           : Rp 38.000

Tentang Buku
(saya rasa bagian ini perlu dicantumkan karena bagian ini merupakan ungkapan langsung dari penulis yang beliau persembahkan buku ini untuk seseorang)

Buku sederhana ini saya persembahkan kepada Pa Stanley Dewanto
Pa . . . terima kasih banyak karena pernah menolong saya, termasuk menyelamatkan hidup dan masa depan saya, serta membuat saya menemukan kembali kebermaknaan diri ini. Sungguh kasih darimu adalah motivasi yang sangat kuat bagi perjalanan hidup saya, terutama di masa remaja.
Dirimu ibarat ayah angkat yang hadir tepat waktu, pada saat saya berada di masa-masa sangat sulit dalam kehidupan saya sebagai anak broken home yang mengalami sakit keras ketika berusia tujuh belas tahun.
Bagiku, engkau tidak hanya menjadi guru matematika di SMA Taruna Bakti Bandung. Engkau adalah mentor, orangtua, teman diskusi, dan sahabat bagi saya.
Terima kasih dari hati yang paling tulus atas kasih sayangmu, Pa. Juga terima kasih atas begitu banyak fondasi – fondasi penting kehidupan yang pernah engkau tanamkan dalam hidup ini.
Saya masih ingat persis ketika kita pertama kali bertemu di rumahmu sore itu, Pa. Waktu itu engkau bilang, “Saya ingin menjadi sahabatmu. Saya berjanji tidak akan pernah membohongimu dan saya berharap engkau tidak akan pernah membohongi saya. Sekali engkau membohongin saya, persahabatan kita putus.” Nasihat itu akan selalu saya simpan di lubuk hati yang paling dalam dan tak seorang pun atau situasi apa pun yang akan dapat merenggutnya. Nasihat itu akan selalu saya jadikan bagian yang tidak pernah akan bisa terpisahkan dari hidup saya.
Tuhan Memberkatimu dan keluargamu selalu, Pa.
I love you, Dad . . .

Surat dari Sahabat
Menulis dan terus menulis! Barangkali itu sudah menjadi bagian dari hidup saya yang tidak bisa dipisahkan. Menulis adalah talenta saya yang sebenarnya baru saya sadari ketika saya memasuki usia 27 tahun. Saat buku ini disusun, usia saya telah memasuki 36 tahun dan tidak terasa sudah 15 buku yang telah saya tulis. Ini adalah buku ke – 15.
            Sejak menemukan talenta sebagai penulis, disertai berbagai proses pembelajaran, kritik, cacian, hingga pujian, saya kemudian berkomitmen untuk terus belajar dan bertumbuh. Tujuan utama hanya satu: menjadi lebih baik. Ketika saya menjadi lebih baik, saya sepenuhnya yakin, hidup saya bisa lebih bermanfaat dan saya bisa lebih sukses dalam hidup ini.
            Sejak saya meyakini bahwa menulis sungguh merupakan talenta saya, sejak saat itu juga saya membuat komitmen kepada diri sendiri dan juga kepada Sang Mahaagung, yang telah begitu bermurah hati dan berkenan memberikan saya talenta istimewa ini, bahwa setiap tahun saya akan menulis satu buku, sepanjang saya masih diberikan usia dan kesehatan yang mendukung.
            Komitmen ini membuat saya mau tidak mau harus terus belajar dan memperbaiki diri. Saya terus membaca, mengikuti seminar atau pengajaran dari para pembicara serta mentor saya. Tidak terasa, di rumah kami yang sederhana di kawasan perbukitan di daerah Padasuka Atas Bandung, koleksi buku saya telah mencapai lebih dari 1.500 judul. Jumlahnya praktis bertambah setiap bulan.
            Setelah belajar dan memperbaiki diri, saya kembali memiliki perasaan yang sama: masih banyak yang belum saya ketahui dan itu semakin memacu saya untuk terus belajar. Selain itu, di tengah ketidaksempurnaan diri ini, saya juga bertekad untuk selalu meneruskan apa yang telah saya pelajari (termasuk dari pengalaman hidup pribadi tentunya) kepada sesama. Bukankan ilmu yang terus dibagi tidak akan membuat kita sebagai pemiliknya menjadi miskin? Justru kita akan semakin kaya. Ya, setidaknya kaya hati karena merasa hidup semakin bermakna.
            Saya sangat berterima kasih kepada sejumlah media yang memberi saya kesempatan amat berharga untuk membagikan ilmu dan pengalaman saya. Terutama kepada majalah INSPIRASI INDONESIA yang sejak beberapa tahun silam memberi saya kesempatan menjadi kolumnis tetap. Tulisan – tulisan dalam buku ini sebagian besar merupakan kumpulan tulisan saya yang pernah dimuat di majalah tersebut tetapi kali ini saya tampilkan lebih utuh – bahkan telah saya lengkapi lebih lanjut – karena tidak ada pembatasan halaman sebagaimana halnya di majalah.
            Terima kasih juga kepada mentor saya, Bapak Andrie Wongso, Motivator Nomor Satu Indonesia yang memberikan saya kesempatan menulis di majalah LUAR BIASA milik beliau. Beberapa artikel dalam buku ini pernah dimuat di majalah tersebut.
            Akhirnya, semoga goresan tinta yang ditulis dari kedalaman serta ketulusan hati untuk memberikan nilai tambah yang positif bagi para pembaca dapat sungguh – sungguh bermanfaat bagi anda.
            Dengan penuh kerendahan hati, saya memohon kritik, saran, atau masukan pembaca demi perbaikan karya – karya saya di masa mendatang. Terima kasih banyak sebelumnya. Tanpa Anda semua, apa yang saya lakukan akan sia – sia belaka. Anda dapat selalu menghubungi saya melalui e - mail pribadi saya : pwinarto@cbn.net.id.
            Akhirnya, mari kita jadikan diri kita lebih baik, lebih bermanfaat, dan lebih sukses! Amin.
            Tuhan memberkati selalu.


                                                               Gambaran Isi Buku

Judul               : Moving Forward : Menjadi Pribadi yang Lebih Baik, 
                          Lebih Bermanfaat, Lebih Sukses
Bidang             : Manajemen, Pengembangan Diri
Tema               : Menjadikan hidup lebih baik, lebih bermanfaat dan pada akhirnya
                          lebih sukses
Isi pokok         : Mencapai kebermaknaan hidup, menciptakan keberuntungan dalam hidup, menjadi pribadi berkarakter, mengampuni dan melepaskan masa lalu yang kelam,tujuh keberanian sukses, mengoptimalkan talenta,menjadikan setiap hari kerja karya emas Anda,  bekerja dengan cinta, menjadi pemimpin yang melayani, menjadikan anak buah proaktif, bersinergi.


Menurut saya, tujuan penulisan buku ini jelas mengikuti isi dari pokok buku ini dengan segudang motivasi dan kata – kata yang membangkitkan gairah untuk menjalani kehidupan. Tetapi isi dari buku ini agak menyimpang dari kategori umum yang disandang buku ini. Banyak terdapat kata – kata dan kalimat – kalimat “hanya” untuk mereka yang sedang bekerja. Pembaca sasaran buku ini adalah untuk dewasa umum, tetapi ada satu bab – beserta sub bab dan isinya – yang benar – benar membahas “dunia kerja” antara atasan (pemimpin) dengan “anak buah” nya. Berikut saya coba kutip dari bab “Menjadikan Anak Buah Proaktif”

Menjadikan Anak Buah Proaktif

Mia, alumnus sebuah perguruan tinggi swasta ternama di kota Bandung, sudah setahun bekerja pada sebuah perusahaan besar. Semula, manajer sumber daya manusia (SDM) perusahaan tersebut mengira Mia akan bekerja penuh antusias mengingat Mia adalah mahasiswi yang aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan semasa kuliah. Sayangnya, seiring perjalanan waktu, terlihat bahwa Mia cenderung pasif dalam bekerja. Ia termasuk tipe orang yang menunggu perintah dari atasan. Sama sekali tidak proaktif! Namun jika diawasi, ia akan bekerja dengan baik. Ada apa dengan Mia?
Hal yang dialami Mia bisa jadi juga berlangsung di perusahaan atau organisasi Anda. Tidak bisa kita pungkiri kalau anak buah yang proaktif sangat dibutuhkan. Selain meringankan pekerjaan atasan, anak buah yang proaktif juga memberikan kontribusi signifikan terhadap kemajuan perusahaan. Ia akan melontarkan ide – ide segar dan tidak takut untuk mencoba hal – hal baru.
Sayangnya, tidak mudah memperoleh anak buah yang proaktif. Untuk itu, saya ingin mengajak kita untuk menganalisis penyebab anak buah cenderung pasif dalam bekerja. Menurut pengalaman dan pengamatan saya, ada beberapa hal yang membuat anak buah cenderung menunggu perintah.
Pertama, karena pemimpin tidak memberi kesempatan kepada anak buahnya untuk belajar dari kegagalan. Artinya, jika gagal langsung dicaci – maki, dikenakan hukuman, dan sebagainya tanpa mencoba bersikap bijaksana dengan melihat sebab – sebab di balik kegagalan tersebut. Akibatnya, anak buah akan merasa trauma dan bersikap cari aman saja (alias daripada nanti salah).
Kedua, bisa jadi anak buah takut bahwa jika ia bertindak proaktif, ia akan dianggap penjilat atau sok cari muka oleh sang pemimpin atau rekan kerja lainnya, terutama yang lebih senior. Hal ini biasanya diperparah oleh komentar – komentar negative oleh para senior seperti, “Jangan sok tahu. Kamu kan anak kemarin sore. Saya makan garam lebih banyak.” Jika ia tetap bertindak proaktif atau mengajukan ide – ide segar bagi kemajuan perusahaan, biasanya ia akan dijauhi atau dikucilkan.
Ketiga, tidak ada sistem reward & punishment yang jelas. Artinya, dalam hal gaji, bonus, tunjangan, dan seterusnya sama saja antara yang proaktif dan yang tidak proaktif. Dengan kata lain, situasi yang ada bersifat RMS (Rajin Malas Sama). Ya, sama saja penghasilan atau fasilitasnya. Inilah yang kemudian membuat anak buah bersikap KSO (kerja sesuai ongkos) dan mengalami demotivasi dalam bekerja.
Keempat, lingkungan kerja yang tidak kondusif. Misalnya, pemimpin cenderung suka mengadu domba anak buah (padahal anak buahnya bukan domba!) sehingga tim yang terbentuk hanya tim semu yang kompak kalau si pemimpinnya mengawasi langsung.
Kelima, barangkali anak buah takut bahwa jika ia mengambil inisiatif atau bersikap proaktif dalam suatu bidang, ia akan diberikan “beban” kerja tambahan padahal ia tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukannya (misalnya kurang dilatih) atau ia tidak yakin akan didukung oleh rekan kerja lainnya.
Keenam, barangkali beban kerja rutin saja sudah sangat padat sehingga waktu yang ada saja sudah terasa tidak cukup. Apalagi jika harus mengambil inisiatif untuk mengerjakan hal - hal baru.
Ketujuh, komunikasi yang macet antara pemimpin dan anak buah serta antara para anak buah sendiri. Ini mengakibatkan anak buah tidak tahu apa gambaran besar (visi) yang ingin dicapai organisasi. Biasanya, jika pemimpin berhasil mengkomunikasikan visi pada saat yang tepat dan visi itu diterima menjadi bagian integral dari anak buah (visi pemimpin menjadi visi anak buah juga) maka itu akan jadi momentum sehingga inisiatif lebih mudah muncul. Bagaimanapun orang akan senang jika ia memiliki kontribusi yang signifikan terhadap upaya pencapaian sebuah visi.
Kedelapan, bisa jadi anak buah takut dicap orang aneh atau konyol jika menyampaikan idenya yang terasa baru, apalagi melakukannya. Mungkin ini dilatarbelakangi asumsi bahwa ide – ide baru tersebut bertentangan dengan tradisi yang selama ini ada di dalam perusahaan.
Kesembilan, mungkin pengalaman kerja yang tidak enak di masa lampau masih menghantui sang anak buah. Misalnya, ketika bekerja di perusahaan lama atau pada pemimpin sebelumnya, ia sangat proaktif dan penuh ide – ide segar. Sayangnya si pemimpinnya insecure sehingga selalu berusaha menekan anak buahnya. Pemimpin takut anak buahnya lebih pintar dan kemudian bisa menggeser sang pemimpin. Padalah sebagai pemimpin, jika anak buah pintar, pekerjaan pemimpin akan semakin ringan!
Kesepuluh, barangkali anak buah bekerja pada bidang yang tidak disukai atau tidak begitu dikuasainya. Orang biasanya lebih proaktif dalam bidang yang disukai dan dikuasainya.
Beberapa usulan
Dari sebab – sebab di atas, saya menganjurkan beberapa solusi praktis yang juga pernah saya terapkan agar anak buah lebih proaktif dalam bekerja.
            Pertama, pemimpin harus berusaha keras untuk membina hubungan baik dengan anak buahnya. Ini adalah tugas pemimpin. Seperti lokomotif yang menarik gerbong dan bukan sebaliknya! Ketika para anak buah merasa pemimpin peduli dan ingin mereka lebih maju, mereka akan lebih tulus dalam membantu pemimpin. Ingatlah, dalam berhubungan dengan orang lain, faktor hati lebih penting daripada rasio. Bukankah kita cenderung tidak akan mengikuti sepenuh hati (atau dengan sukarela) seseorang yang tidak kita sukai? Seorang pemimpin hanya akan sukses jika orang – orang di sekelilingnya menginginkan ia sukses.
            Kedua, pemimpin harus mengomunikasikan secara jelas visi yang ingin diraih perusahaan. Orang akan sulit berkontribusi jika mereka tidak tahu mau ke mana mereka akan dibawa. Si pemimpin juga harus menegaskan bahwa demi tercapai visi tersebut, ia sangat memerlukan saran, ide, dan masukan dari pada anak buahny. Jika anak buah dilibatkan, mereka akan merasa memiliki dan lebih berkomitmen.
            Ketiga, ciptakan iklim keterbukaan dan pererat rasa kebersamaan dalam organisasi. Salah satunya lewat acara – acara informal, misalnya piknik bersama atau sekadar makan siang bersama. Jangan lupa untuk merayakan kesuksesan – kesuksesan kecil secara bersama – sama sehingga para anak buah merasa dirinya berarti bagi organisasi.
Keempat, tempatkan anak buah pada tempat yang tepat sesuai bidang kompetensi atau bidang yang disukainya (right man in the right place). Bagaimana kita tahu bidang tersebut? Bisa dengan sejumlah tes, termasuk psikotes, tes wawancara, atau diskusi informal pada waktu informal juga. Belum tentu latar belakang pendidikan formal merupakan bidang kompetensi atau bidang yang disukainya. Kuncinya di sini adalah komunikasi yang jujur dari harti ke hati.
Kelima, ciptakan sistem reward & punishment. Yang berprestasi harus diberikan penghargaan dan yang salah harus dihukum secara bijaksana (dengan mempertimbangkan alasan). Reward tidak selalu dalam bentuk uang. Sebuah tepukan di pundak atau pujian di depan umum terkadang jauh lebih berarti daripada bonus rupiah.
Keenam, lakukan pendelegasian sambil terus mengembangkan kompetensi anak buah. Berikan mereka otoritas dalam batas – batas yang jelas sehingga tidak semua keputusan harus diambil ole pemimpin tertinggi. Seimbangkan antara otoritas dan tanggung jawab. Kemudian, jangan lupa untuk terus memperlengkapi atau melatih mereka sehingga mereka senantiasa bertumbuh ke arah yang lebih baik.
Bagaimana menurut Anda?

Berikut adalah bab yang saya maksud. Bahkan pada bagian “beberapa usulan” yang pastinya adalah solusi atau pemecahan masalah pada bagian ini pun merujuk pada mereka yang bekerja di sebagai pegawai atau karyawan. Bagaimana dengan wirausahawan dan juga pekerja seni? Saya rasa pendapat dan pembahasan harus lebih umum diungkapkan dan diutarakan pada buku ini.
Menurut saya, pemakaian kata “anak buah” pada bagian ini sangat tidak tepat. Kata – kata “anak buah” sangat sering sekali ditulis dan dipakai dalam percakapan dan bahkan pada solusi masalah pada bagian ini. Mungkin kata – kata “anak buah” dapat diganti dengan kata “anggota” ataupun “junior” dengan menggambarkan kata – kata yang lebih halus dan positif disbanding sebelumnya yang cenderung negative atau merendahkan untuk sebagian mereka yang ada di posisi tersebut.
            Informasi yang disampaikan pada buku ini harusnya benar karena berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Tetapi yang saya khawatirkan adalah penulis yang berprofesi sebagai pembicara dan motivator tidak benar – benar mengalami sepenuhnya apa yang ditulisnya, melainkan tulisan – tulisan ini didengarkan, dikaji, dan dipelajari dari beberapa teman, sahabat, guru, kenalan, dan keluarga sang penulis itu sendiri.
            Hal – hal baru yang terdapat dalam isi buku ini, menurut saya adalah pengalaman pribadi sang penulis yang dituangkan dalam buku ini, yang belum tentu semua orang dapat mengalami peristiwa seperti yang dialami penulis yang menjadi acuan untuk menulis buku ini.
Kelebihan isi buku ini dibandingkan dengan buku sejenis lainnya adalah seperti yang sudah saya singgung di atas yaitu pengalaman dan kesaksian yang berbeda yang dialami oleh penulis yang dituangkan menjadi bagian dari buku ini, contohnya saya kutip dari bagian pertama buku ini, “Kebermaknaan Hidup”
Kebermaknaan Hidup
“Saya ini sudah diberi banyak bonus oleh Tuhan. Berkali – kali kecelakaan tetapi tidak mati – mati. Kalau Tuhan mau panggil pulang, saya sudah siap. Namun jika Dia masih memberi saya hidup, akan saya gunakan untuk terus bekerja dan menjaga cucu – cucu saya,” ungkap seorang kakek berusia 72 tahun. Satu hal yang sangat menarik dari pernyataan kakek tersebut adalah ia sudah siap dipanggil. Ini sungguh sesuatu yang unik. Bukankah kita kerap mendengar – bahkan mungkin mengalami - takut mati?
            Kakek bernama Gabriel Slamet Mulyodiharjo ini hidup di sebuah rumah yang sangat sederhana di kota kecamatan Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Puluhan tahun hidupnya dihabiskan dengan menjadi aktivis gereja, termasuk mengunjungi orang sakit dan membuat peti mati bagi orang – orang yang tidak mampun di gerejanya. Semua dilakukannya dengan penuh sukacita. Lebih dari tujuh belas tahun saya mengenalnya, tak pernah sekali pun ia mengeluh tentang hidupnya. Sikap selalu bersyukur tampak begitu jelas dalam keseharian hidupnya.
            Di usia senja, semangat yang menyala itu tak kunjung padam. Ia masih menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai tukang kayu. Terkadang ia bahkan masih “nekat” naik ke genteng untuk membetulkan posisi genteng sehingga air hujan tidak masuk ke dalam rumah. Sesekali masih terlihat ia bersepeda santai menuju Waduk Sempor di atas gunung (yang berjarak belasan kilometer dari rumah).
            Berdia dan membaca tetap menjadi aktivitas yang tidak pernah dilewatkannya. “Meski sudah tua dan gampang lupa, saya tetap suka membaca.” Katanya. Kitab Suci baginya sudah seperti pasangan hidup. “Hanya belas kasihan Tuhan yang membuat saya tetap hidup penuh semangat seperti hari ini,” lanjutnya.
            Di usia yang tidak lagi muda, dengan gigi yang ompong, rambut memutih, pendengaran yang mulai terganggu dan kerutan kulit wajah, ia selalu tampak antusias ketika bermain bersama cucu – cucunya. Bahkan, kerap kali cucunya meminta tidur bersama sang kakek. Intinya, di mana pun sang kakek berada, sukacita itu selalu hadir bersamanya.
            Anda mungkin bertanya, kok saya bisa tahu detail mengenai sang kakek tersebut? Ya, tentu saja saya tahu, sebab kakek itu adalah mertua saya sendiri. Ada begitu banyak inspirasi yang saya peroleh dari hidup beliau yang teramat bersahaja.
            Saya masih ingat betul saat kami berdua berada di ruang tunggu ICU (Intensive Care Unit) RS Harapan Kita, Jakarta. Pada saat itu, Priscilla, putri kami yang baru berumur 41 hari baru saja menjalani operasi jantung. Tiba – tiba saja, ayah mertua sungkem kepada saya. “Mungkin selama ini saya ada salah sama Paulus. Ini waktu yang baik untuk minta maaf,” katanya dengan penuh ketulusan. Sontak saya kaget dan memintanya untuk kembali duduk.
            Betul kata orang bijak, “Kalau anak minta maa kepada orangtua itu biasa. Kalau orangtua minta maaf kepada anak, itu baru luar biasa!” Pengalaman ini kemudian mengakar dalam hidup saya dan membuat saya berani meminta maaf kepada kedua anak kami, jika saya berbuat salah. Orangtua toh tetap manusia. Bisa keliru dan berbuat salah!
Dari sekian banyak pengalaman bersama ayah mertua dan inspirasi hidup yang saya peroleh darinya, saya menangkap ada satu tema utama yang menjadi benang merah semuanya itu, yakni hidup harus bermakna.
            Suatu ketika, saya pernah berbicara di hadapan para dosen sebuah kampus swasta terkenal di negeri ini. Sebagian kecil darik mereka – menurut panitia yang mengundang – adalah orang – orang yang konon begitu arogan dengan berbagai prestasi dan gelar akademik yang disandangnya.
            Pada saat itu, saya menyampaikan sesuatu yang membuat beberapa peserta tampak terkejut, bahkan mungkin tidak suka, “Jika Anda orang hebat, pernah meraih banyak prestasi spektakuler, terkenal, dan memiliki gelar begitu banyak, itu semua bagus tetapi itu semua akan sirna begitu Anda dimakamkan. Lima atau sepuluh tahun setelah kepergian Anda, orang akan melupakan semuanya itu. Satu – satunya yang akan mereka ingat hanyalah kebaikan – kebaikan yang pernah Anda lakukan untuk mereka.”
            Pernahkan Anda mendengar ada orang yang meminta agar di batu nisannya dituliskan daftar segudang prestasi dan gelar yang pernah diraihnya? Tentu saja tidak! Sebuah pepatah bijak pernah mengingatkan, “Semua bayi terlahir ke dunia dengan tangan terkepal tetapi kehidupan punya cara tersendiri untuk membuat orang melepaskan semuanya itu ketika ia kembali.”
            Anthony Campolo pernah menceritakan sebuah studi sosiologis mengenai lima puluh orang berusia Sembilan puluh tahun lebih. Mereka ditanya, seandainya Anda bisa mengulang kembali kehidupan Anda, apa yang mau Anda lakukan secara berbeda? Tentu ini adalah pertanyaan terbuka dengan berbagai jawaban berbeda. Namun, yang luar biasa adalah tiga jawaban teratas.
            Pertama, seandainya saya harus mengulang kembali hidup ini, saya akan lebih banyak merenung. Kedua, seandainya saya harus mengulang kembali hidup ini, saya akan lebih bayak mengambil risiko. Dan ketiga, seandainya saya harus mengulang kembali hidup ini, saya akan mengerjakan hal – hal yang tetap langgeng setelah saya berpulang nanti.
            Riset ini seakan memperkuat bahwa kebermaknaan hidup jauh lebih penting daripada sekadar mengejar ambisi, kekayaan, popularitas, dan sebagainya. Panjangnya usia bukanlah sebuah jaminan hidup seseorang akan bermakna. Kebermaknaan hidup baru bisa diraih ketika seseorang tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, tetapi mau memberikan hati bahkan hidupnya bagi orang lain.
            Bagaimana dengan Anda dan saya?

Bahkan pada bagian “Optimizing Your Talent” ada pengalaman yang tidak disangka yang dialami oleh penulis, berikut saya coba jabarkan
Optimizing Your Talent
“Kalau sampai kamu gatal – gatal, tanggung sendiri ya risikonya,” begitu teguran seorang senior saat saya masih menjadi jurnalis di sebuah majalah berita mingguan terkemuka di negeri ini. Saat itu saya sedang ditugaskan untuk meliput kasus pembantaian massal dukun santet di daerah Ciamis, Jawa Barat, belasan tahun silam. Demi alasan efisiensi dan sense of ownershipatas perusahaan, saya berniat memilih penginapan yang supermurah tetapi sebenarnya tidak representative buat bekerja ( seperti tidak adanya faksimili atau jaringan internet untuk mengirimkan laporan serta lampu kamar yang redup ) Lagipula, kamai di penginapan tersebut terasa sumpek, pengap, dan seprai kasurnya agak kumal.
            Teguran penuh kasih ini dilontarkan sang senior dengan berbagai alasan kuat lainnya. Selain demi kenyamanan, juga karena faktor kantor telah memberikan alokasi dana penginapan yang besarnya empat kali dari harga penginapan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar sebagai jurnalis, kami bisa berkonsentrasi pada pekerjaan dengan sarana yang memadai.
            Nah, sepenggal pengalaman di atas kemudian saya coba refleksikan lebih jauh. Dalam hidup ini, Yang Menugaskan kita ke dunia ini juga telah membekali kita dengan berbagai macam bekal yang diperlukan agar hidup kita optimal. Mulai dari kesehatan fisik, kesehatan mental, keluarga, dan lingkungan yang mendukung, hingga talenta. Nah, sayangnya terkadang semua bekal tersebut, terutama talenta, tidak kita manfaatkan secara maksimal sehingga tugas yang diberikan tidak bisa kita selesaikan dengan baik. Hidup kita menjadi rata – rata alias tidak optimal.
            Ya, ini mirip kisah saya di atas yang berniat memilih penginapan dengan harga hanya seperempat dari jatah yang diberikan kantor. Jika saya jadi menginap di hotel tersebut, jampir bisa dipastikan saya sulit beristirahat dengan nyenyak dan akhirnya akan memengaruhi kinerja saya. Ini tentu akan sangat mengecewakan kantor saya sebab saya bekerja tidak optimal.
            Oleh sebab itu, dalam hidup ini, kita sebaiknya berusaha untuk mengoptimalkan segala yang ada. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan talenta yang telah Tuhan percayakan kepada kita. Ingatlah, semakin besar kepercayaan yang diberikan akan semkain besar pula tanggung jawab kita untuk mengembangkannya serta semakin besar juga pertanggungjawaban yang harus kita berikan nantinya.

            Kekurangan isi buku ini dilihat dari temanya adalah beberapa tulisan yang mengacu pada profesi tertentu, tidak secara umum tujuan tulisan tersebut ditulis.
            Pada buku ini, keterkaitan antar bab sangat minim, memang tema utama buku ini yaitu motivasi, kata – kata, dan pengalaman yang membangun, dapat dilihat dari judul antar babnya yaitu “More Than Succeed”, “Be the Best You Can Be”, “ Leadership and Teamwork @ Work”, dan “Becoming A Better You”. Bahkan keterkaitan antar subbab di dalam babnya juga sangat minim, karena antar subbab seolah mempunyai cerita dan maknanya sendiri.
            Menurut saya, deskripsi yang dipergunakan tidak cukup jelas tetapi masih dalam kategori maksud akal, karena kata – kata mutiara yang digunakan tidak dengan jelas menggambarkan deksripsi itu sendiri.
            Ilustrasi dalam buku ini untuk memperjelas konsep atau gagasan penulis buku sangatlah luas, penulis menuangkan pengalaman pribadinya selama belum bekerja sebagai penulis dan pembicara, pengalaman yang didapat saat belajar kepada guru motivasi dan kepemimpinan dari EQUIP (  lembaga milik John C. Maxwell ) serta dari John C. Maxwell sendiri. Dalam bagian Dare to Fail pada Dare to Succeed, di tulis demikian
Dare to Fail
John C. Maxwell dalam bukunya Failing Forward menegaskan, perbedaan antara orang rata- rata dan orang – orang yang berprestasi adalah persepsi dan respons mereka atas kegagalan ( the difference between average and achieving people is their perception of and response to failure ). Ya, ada orang yang melihat sebagai batu sandungan tetapi ada yang melihatnya sebagai batu loncatan. Orang sukses lebih banyak menemui kegagalan daripada orang gagal dan orang rata – rata karena mereka lebih banyak mencoba. Dengan kata lain, semakin banyak mencoba semakin banyak peluang untuk berhasil. Yang terpenting, ketika menemui kegagalan, jangan hanya berpangku tangan, menyalahkan orang lain ( dan situasi ) apalagi menyerah. Lakukan evaluasi secara serius. Bisa sendiri atau bersama orang yang lebih tahu dan lebih berpengalaman ( misalnya mentor ) lalu susun strategi ke depannya dan bangkit lagi!
Selain itu datang pula dari tokoh terkemuka lainnya di dunia maupun di Indonesia, saya kutip dari bagian “Menjadi Bermakna” pada subbab “You Can Be A Hero”.
Menjadi Bermakna
Rick Warren mengingatkan jika Anda tidak melakukan hal – hal yang bermakna dalam hidup Anda maka tidak ada artinya berapa lama usia Anda di dunia ini. Bagaimana pun, yang mempunyai makna adalah donasi ( dan kontribusi Anda dalam hidup ) dan bukannya durasi atau lamanya usia hidup Anda ( if you aren’t doing anything with your life, it doesn’t matter how long it is. Your donation, not duration, is what matters ).
Senada dengan itu, pejuang hak asasi manusia Martin Luther King, Jr. pernah dengan tegas menyatakan “Setiap orang bisa menjadi hebat karena setiap orang bisa melayani. Anda tidak harus memiliki ijazah perguruan tinggi untuk dapat melayani. Anda tidak perlu menimbang – nimbang dan memutuskan untuk melayani. Anda hanya perlu hati yang penuh belas kasihan. Jiwa yang lahir dari kasih.”
Kata – kata seperti mengasihi, melayani, memberikan kontribusi positif, dan sebagainya adalah wujud hati yang rela untuk memikirkan sekaligus melakukan sesuatu bagi sesame. Bukankah ini yang dilakukan oleh para pahlawan dalam hidup kita?
Menjadi pahlawan tidaklah selalu berkaitan dengan tindakan – tindakan yang heroic, seperti berperang melawan penjajah. Anda dan saya pun dapat menjadi pahawan bagi orang – orang di sekitar kita, setiap waktu. Tidak perlu menunggu hari baik untuk melakukannya. Apa yang diutarakan oleh pengusaha kaos terkenal di Bali, Joger, yaitu Joseph Theodorus Wulianadi, bisa menjadi bahan refleksi kita bersama. Suatu ketika, ia pernah membagikan kepada saya definisinya tentang kebaikan. Menurutnya, kebaikan dapat dibagi ke dalam tiga kelompok dasar.
Kebaikan tingkat pertama atau kebaikan tingkat dasar, yaitu kebaikan yang “wajib” dimiliki oleh semua orang, tidak peduli orang apa, agama apa, dari mana, orang kaya maupun miskin. Semua orang yang mengaku dan ingin diakui sebagai orang baik, sudah seharusnyalah tidak bikin susah orang, dalam arti janganlah sampai bikin susah orang lain. “Tapi juga jangan sampai bin susah diri kita sendiri, karena diri kita sendiri kan juga orang, bukan orong – orong,” sambungnya.
Kebaikan tingkat dua adalah kebaikan orang “kaya” yang sebaiknya kita lakukan hanya setelah kita berhasil memiliki dan mengamalkan kebaikan tingkat dasar, dalam arti setelah benar – benar tidak susah lagi, berkecukupan, dan sudah tidak bikin susah orang lain lagi, atau sudah senang dan masih punya kelebihan yang maslahat ( waktu, tenaga, pikiran, maupun dana ). Manfaatkanlah kelebihan milik kita itu untuk membantu pihak – pihak yang pantas, perlu dan mau menerima bantuan dari kita secar wajar ( tidak kurang ajar ).
Selanjutnya, kebaikan tingkat tiga alias kebaikan tingkat “orang suci” adalah kebaikan tanpa syarat, di mana seseorang bersedia mengorbankan dirinya sendiri ( jiwa raga maupun harta ) demi orang lain. Bersedia susah, hancur, miskin, sakit, atau bahkan mati, demi kesenangan, pertumbuhan, kemakmuran, kesembuhan, kejayaan, dan kehidupan pihak lain.
“Bagi saya, kebaikan tingkat tiga ini adalah kebaikan yang agak terlalu tinggi, sehingga belum pantas dan juga belum perlu kita dukung, tapi juga tidak berhak kita larang – larang atau halang – halangi,” ujar Joseph Theodorus Wulianadi.

Latar bekakang penulis buku sangat mempengaruhi gaya penyajian buku. Latar belakang penulis yang pernah bekerja sebagai jurnalis dan sering menulis jurnal, artikel, dan laporan memudahkan beliau dalam penulisan bukunya sampai sekarang ini. Sistem kejar waktu pun sepertinya tak menjadi masalah bagi penulis karena saat bekerja sebagai jurnalis, bekejaran dengan waktu sudah menjadi kewajibannya, apalagi saat berhubungan dengan orang penting seperti pejabat pemerintahan dan staff jajarannya.
Rujukan atau kepustakaan yang digunakan menurut saya cukup mutakhir dan relevan karena penulis lebih banyak bersumber pada sumber dan narasumber internasional yang pastinya sudah terbukti di dunia seperti ini.
 Buku ini tidak dilengkapi oleh glosarium ataupun indeks sama sekali. Banyak kata – kata berbahasa inggris yang tentunya tidak semua orang mengerti apa maksudnya. Seharusnya disertakan pengertian di sebelah kata yang disebutkan, jadi selain membaca istilah dalam Bahasa Inggris, pembaca juga dapat mengerti arti sebenarnya dalam Bahasa Indonesia dan dapat melakukannya sesuai dengan maksud dan tujuan dari bahasa atau istilah tersebut.
Biarpun sedikit dan minoritas, tetapi masih terdapat kata – kata atau penulisan yang salah pada buku ini. Untungnya, kata atau penulisan yang salah tersebut tidak mempengaruhi arti dan pengertian yang dimaksud dari kalimat tempat kata tersebut berada.

Kesimpulan

Kesimpulannya adalah, buku Moving Forward : Menjadi Pribadi yang Lebih Baik, Lebih Bermanfaat, Lebih Sukses karya Paulus Winarto ini sangat layak untuk dibaca oleh semua kalangan dewasa. Buku ini mencakup semua keadaan, perasaan, kebutuhan, dan kehidupan dewasa ini, dengan segala problematika dan masalah yang ada. Kuncinya tidak hanya dibaca, dan dipahami, tetapi harus didiskusikan dan dilaksanakan. Terlebih lagi pada buku ini terdapat bagian yang diharapkan dibaca di akhir tahun ( bertepatan dengan saya yang mengerjakan tulisan resensi ini pada akhir tahun, dan juga membaca buku ini sebagai bahan sumber resensi saya ) yang tentunya menambah fungsi buku ini sebagai motivasi dan ide untuk perencanaan dan resolusi yang akan dilaksanakan di tahun mendatang. Terima Kasih, selamat membaca.

Daftar Pustaka

Winarto, Paulus, 2011. Moving Forward : Menjadi Pribadi yang Lebih Baik, Lebih Bermanfaat, Lebih Sukses. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia


#TULISAN3 BAHASA INDONESIA 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar