#TULISAN5 BAHASA INDONESIA 1
Penulisan Feature
Topik: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa dalam arti
yang Sebenarnya
Tema: Kehidupan guru setelah pengabdiannya
Teras (Lead)
Pahlawan
Tanpa Tanda Jasa. Kalimat tersebut sudah tidak asing lagi untuk kita, sangat
identik dengan satu kata, yaitu Guru. Pandangan masyarakat luas terhadap
profesi mulia ini sangatlah minim. Semakin identik dengan upah yang kecil
tetapi memiliki tanggung jawab yang besar, jam kerja yang melebihi pekerjaan
orang pada umumnya, ilmu dan pengetahuan yang harus selalu baru setiap hari
tanpa pernah melupakan yang lama, belum lagi harus mengajar dan menyampaikan
ilmu tersebut kepada anak muridnya, membuat sebagian besar masyarakat enggan
menyematkan profesi guru ini di Kartu Tanda Penduduk (KTP) – nya. Tugas guru
harus ditambah lagi dengan mendidik, memperhatikan, dan juga menyayangi anak –
anak murid yang tentu saja bukan anak kandungnya sendiri. Memastikan mereka
melakukan perbuatan yang baik dan terpuji, melakukan sesuatu yang benar,
disiplin, taat, rajin, paham tentang pelajaran, mendapat nilai yang bagus . . .
membaca tulisan tentang guru ini saja sudah melelahkan, bagaimana mereka yang
melakukannya ya?
Menurut saya, guru, dosen,
pengajar, mereka tidak ada bedanya. Tugas utama mereka adalah mengajarkan yang
seharusnya mereka ajarkan kepada muridnya. Dosen melakukannya di tingkat
universitas, guru melakukannya di tingkat sekolah, tenaga pengajar melakukannya
di tingkat yang lebih rendah lagi ataupun di lembaga pendidikan informal
seperti kursus. Tetapi di samping itu semua tersirat tugas dan tanggung jawab
yang sangat besar setelah mereka melakukan pekerjaan mereka, yaitu mau jadi
seperti apa anak murid ini setelah semua ini selesai? Apakah “menggantikan” dan
mengikuti dengan profesi yang sama seperti ini, lebih buruk lagi, atau lebih
baik lagi? Sepertinya pertanyaan itu seumur hidup sulit untuk dijawab.
Untuk
anda pembaca tulisan ini yang pernah mempunyai guru, pernahkah kalian berpikir,
sedang apakah guru kalian saat ini? Mereka yang dahulu setiap hari dan setiap
saat berusaha mengenal, mendidik, mengajar, menolong, dan sayang kepada kalian
saat kalian sekolah dan menimba ilmu, apa kabar bapak dan ibu guru? Bagaimana
kehidupan kalian sekarang? Apakah masih mengajar seperti dahulu, atau pekerjaan
dan pendapat kalian lebih baik lagi, atau malahan lebih buruk?
Dan
untuk anda pembaca tulisan ini yang pernah mengajar sebagai tenaga pengajar,
guru, dosen, ataupun pekerjaan dan aktivitas sejenisnya, pernahkah kalian
berpikir bagaimana kabar anak murid yang kalian ajar dan kalian didik dahulu?
Mereka yang dahulu setiap hari dan setiap saat hadir di depan kalian, dengan
otak dan kepribadian yang masih kosong – siap diisi apapun, mereka yang nakal,
pendiam, pemalu, sulit diatur, sampai pusing anda dengan hanya melihatnya saja,
apa kabar kalian ‘nak? Bagaimana
kehidupan kalian sekarang? Apakah kalian sudah menjadi apa yang kalian cita –
citakan dahulu? Apa kalian memilih profesi yang sama dengan kami? Bagaimanakah
dengan ilmu dan pengetahuan yang dahulu kami ajarkan kepada kalian, apakah
kalian masih mengingatnya?
Apakah kalian
masih ingat dengan saya bapak dan ibu guru?
Apakah kalian
masih ingat dengan kami, nak?
Tubuh Karangan
Saat itu saya sedang dalam
perjalanan pulang. Saya baru saja selesai dari bermain musik bersama teman –
teman. Hari sudah malam. Lelah kami bermain musik, kami merasa lapar. Sebelum
pulang dari tempat kami bermain, teman saya mengajak kami untuk makan dulu di
tempat biasa dia makan. Tentu kami menyetujuinya karena malam itu kami belum
makan. Kami pun berjalan. Sesampainya kami di tempat yang dimaksud, saya dan
teman – teman langsung memarkirkan motor kami dan bersiap memesan dan mengambil
makanan. Warung kecil dan sederhana itu bernama “Angkringan Panjer Wengi” Terletak
di pinggir jalan tempat yang sudah sangat kami kenal. Suara bising dari
kendaraan di jalan raya sepertinya tidak menghalangi kesunyian dan
kesederhanaan warung ini. Sangat enak dan nyaman untuk kalian para penggemar
makanan murah meriah dengan suasana santai.
Kamipun memesan makanan dan
duduk di tempat yang disediakan. Saat saya hendak mengambil beberapa lauk, ada
suara yang bertanya kepada saya apakah saya tinggal di perumahan di dekat situ.
Ternyata ibu penjual angkringan tersebut yang bertanya, tentu saja saya jawab
iya. Tetapi beliau bertanya kembali, apakah saya dahulu sekolah di Taman Kanak
– Kanak (TK) di dekat situ. Saya pun kembali menjawab ya, saya heran mengapa
ibu ini tahu. Setelah saya selesai mengambil makanan, beliau bertanya dengan
sangat meyakinkan sambil menyebut nama saya. Saya pun menjawab ya dengan
sedikit heran dan terkejut, kok ibu ini sampai tahu nama saya? Kemudian beliau
sedikit menjelaskan, beliau adalah guru TK saya waktu dulu. Beliau bilang
sangat mengenal anak muridnya dengan baik, paling yang berubah hanya tumbuh
kumis, jenggot, dan gaya rambut. Saya pun terhening. Luar biasa, bu.
Saya pun melanjutkan makan saya
bersama teman – teman. Setelah itu barulah kami melanjutkan perbincangan kecil
tadi. Jujur, saya sama sekali tidak ingat bahwa beliau adalah guru TK saya
dahulu. Namanya Bu Endang, dan saya pun mencoba kembali mengingat dengan
serius. Memang saya samar – samar mengingat nama beliau, tapi tidak dengan
jelas dan utuh. Maklum sudah 15 tahun berlalu.
Sudah larut malam, saya pun
memutuskan untuk mengakhiri perbincangan, saya pun berpamitan dan kamikemudian
membayar makanan. Entah mengapa saya jadi mencoba mengingat kenangan saat itu
yang masih membekas di benak saya. Tentu saya tidak lupa untuk bilang akan
datang kembali kesana.
` Saya diingatkan kembali oleh
teman tentang tugas Bahasa Indonesia (tugas tentang ini). Saya pun berpikir
menjadikan Bu Endang inspirasi dalam tugas saya ini. Beberapa hari kemudian
setelah selesai bermain musik bersama teman – teman, saya pun kembali singgah
di Angkringan Panjer Wengi, tapi kali ini saya datang lebih sore supaya saya bisa
lebih lama mengobrol dengan beliau, serta makanan yang ada pun masih lebih
lengkap tersedia.
Saya
pun sampai di angkringan tempat Bu Endang berada. Setelah memesan dan mengambil
makanan, saya pun mulai membuka perbincangan. Saya bertanya kepada beliau sudah
berapa lama membuka usaha ini. Ternyata beliau dan keluarga sudah 5 tahun ini
membuka usaha angkringan ini. Saya pun sempat berpikir kok saya tidak sadar
sudah 5 tahun ada angkringan ini di tempat yang tidak asing lagi untuk saya,
mungkin selain jam operasinya malam hari, saya juga tidak terlalu melihat dan
memperhatikan karena hanya lewat saja di daerah ini. Saya pun kembali
menanyakan bagaimana pekerjaan beliau dahulu, apakah sampai sekarang masih
mengajar atau bagaimana. Ternyata beliau sudah tidak lagi mengajar, tetapi
posisinya sudah diangkat menjadi staff di yayasan pusat sekolah tempat
mengajarnya dahulu. Jadi, dari beliau mengajar di taman kanak – kanak saya
dahulu, Taman Kanak – Kanak tersebut adalah cabang dari pusat yang ada di
Depok. Selain Taman Kanak – Kanak, yayasan ini juga mempunyai Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Wah berarti posisi beliau
sudah lebih baik dong, pikir saya. Dengan menjadi salah satu staff di kantor
pusat tempat yayasan itu berdiri, berarti beliau tidak perlu lagi mengajar.
Upah yang diterima pastinya lebih baik dari posisinya dahulu yang hanya
mengajar di cabang, Taman Kanak – Kanak pula. Awalnya saya berpikir dengan
melihat beliau berdagang usaha angkringan ini, di tempat yang kecil dan
sederhana ini, taraf kehidupan beliau dan keluarga sudah menurun dari dahulu.
Ternyata saya salah besar. Kata – kata beliau berikutnya pun kembali membuat
saya kaget dan merasa bersalah sudah mengira pikiran demikian. Saya pun kembali
bertanya mengapa dan bagaimana awalnya usaha angkringan ini berdiri. Beliau
kembali bercerita, awalnya suami beliaulah yangmembuka usaha ini. Bermula dari
suami beliau yang sering “nongkrong” bersama teman – temannya di angkringan di
daerah lain, maka terpikirlah untuk membuka usaha seperti ini juga tetapi di
daerah sekarang ini, lebih dekat dengan rumah katanya. Saya pun kembali
bertanya bagaimana dengan keluarga beliau yang lainnya, anak – anak beliau atau
saudara beliau. Beliau pun menjawab, anak – anak saya sudah ada yang menikah
dah ikut keluarganya mas. Terus yang
satunya sedang di Cikeas bekerja untuk Cikeas TV, yang satu lagi masih berjuang
di SMA. Beliau pun menerangkan bahwa yang berjaga di warung ini gantian tidak
hanya beliau seorang, terkadang suaminya, saudaranya, temannya, pokoknya yang
mengatur suaminya, beliau hanya tinggal berjaga dan memastikan pelanggan nyaman
saja dengan makanan yang ada.
Sembari mengambil lauk tambahan,
saya pun kembali bertanya kepada beliau, tentang modal awal dan omset beliau
dan keluarga dari usaha ini. Saya kembali dibuat heran dengan jawaban beliau.
Modal awal usaha ini yang beliau dan keluarga keluarkan hanya sekitar 1 juta
rupiah. Beliau kembali bercerita bahwa gerobak yang mereka dapat berasal dari
teman yang sudah tidak berdagang, namun kembali mereka modifikasi. Awalnya
beberapa makanan dan minuman mereka memakai sistem menjual kembali, mereka
hanya mengambilnya, lalu menjualnya kembali tentu dengan harga yang berbeda.
Biarpun begitu, harga makanan dan minuman di tempat ini sangatlah terjangkau
dan murah. Omset yang beliau peroleh per bulan pun beliau tidak bisa menjawabya
dengan pasti, karena beliau menjawab tidak terlalu ikut campur dalam urusan
pendapatan dan sejenisnya. Beliau hanya membantu menjaga, membereskan, dan
memastikan usaha mereka ini berjalan dengan baik, dan pelanggan nyaman berada
disana. Menurut saya biarpun begitu tetap saja beliau sebagai istri harus tau
hal sensitif seperti keuangan ini, begitu juga anak – anak mereka.
Saya pun kembali mengajukan
pertanyaan lokasi rumah tempat tinggal beliau. Beliau menjawab sangat dekat, di
belakang bangunan tempat angkringan ini
berada hanya belokan ke 2 dan terpisah beberapa rumah saja. Saya tahu betul
daerah itu, sangat dekat sekali dengan lokasi angkringan ini. Tentu tidak sulit
mencapainya, apalagi dengan membawa peralatan untuk berdagang, beserta makanan
dan minuman yang akan dijual. Perbincangan kami ini ternyata tidak satu arah,
beliau pun menanyakan tempat tinggal saya apakah masih di perumahan atau tidak,
apakah saya masih ingat dengan guru – guru lainnya, Bu Sri, Bu Neneng, beliau
pun menyebutkan nama – nama guru yang dahulu pernah bersama menjadi rekan
kerjanya. Saya pun kembali mengingat beberapa nama yang disebut beliau. Waduh,
mengingat beliau saja sudah sulit kemarin, sekarang kembali mengingat guru –
guru yang lain yang waktu itu pernah mengajar saya. Beliau juga menceritakan
beberapa anak murid beliau yang tentunya pernah menjadi anak murid beliau yang
kemarin pernah datang ke angkringan ini. Kali ini saya masih ingat nama – nama
itu karena yang beliau sebutkan adalah teman – teman saya yang setidaknya kami
masih bermain bersama sampai SD. Saya kembali berpikir, sangat luar biasa
ingatan Bu Endang ini. Tentunya beliau masih ingat nama saya, nama teman –
teman saya, nama teman – teman guru beliau dahulu, padalah anak murid yang
beliau ajar pasti sangat banyak dan hal itu sudah sangat lama berlalu.
Kembali saya memesan minuman,
lalu saya sempatkan untuk mengambil gambar di angkringan beliau. Angkringan ini
hanya diterangi oleh 1 lampu minyak (lampu tempel) yang orang – orang jaman
dahulu sering gunakan di pedesaan, mungkin sekarang juga masih ada. Beberapa
orang lain pun silih ganti berdatangan memesan makanan dan minuman kepada
beliau disana. Saya pun merasa tak enak meminta foto dengan beliau karena
sambil berbincang dengan saya, beliau juga sambil mengambil makanan, membuat
minuman, dan melayani beberapa pembeli yang lain yang datang ke angkringan ini.
Bu Endang pun kembali mengajukan pertanyaan kepada saya, bagaimana saya
sekarang, kerja atau kuliah, bagaimana keluarga saya, apakah saya masih bertemu
dan bermain dengan teman – teman saya semasa Taman Kanak – Kanak dahulu. Saya
pun menjawab bahwa saya sekarang sedang kuliah di Universitas Gunadarma, sudah
semester 5, dan kami sudah pindah rumah ke blok yang berbeda dari rumah kami
yang dahulu, tetapi masih dalam 1 perumahan yang sama. Saya pun sudah jarang
sekali bertemu dan bermain bersama teman – teman TK dahulu karena di samping
kami sudah pindah rumah, SD sampai sekarang kuliah pun kami sudah tidak pernah
bertemu lagi.
Saya melihat beberapa makanan
yang kemarin dan hari ini belum saya ambil. Kemudian saya mengambilnya lalu
memakannya, sembari bertanya berapa harga makanan yang saya makan ini. Saya
mengambil dan memakan sate usus ayam yang ternyata harganya hanya dua ribu
rupiah saja. Tentu harga yang sangat
terjangkau dan tidak asing lagi untuk kita. Saya pun penasaran dengan harga
makanan yang lain. Ternyata ada kepala ayam goreng yang menarik perhatian saya.
Saya pun bertanya kepada Bu Endang berapa harganya. Ternyata harganya hanya dua
ribu rupiah saja, sama dengan sate usus ayam tadi. Makanan yang paling mahal
adalah sate telur puyuh dengan harga dua ribu lima ratus rupiah. Menu nasi
kucing pun sama harganya dengan sate telur puyuh. Saya kembali bertanya mengapa
harga makanan ini berbeda. Kemudian beliau menjelaskan, bahwa menu nasi kucing
dan sate telur puyuh tidak dibuat sendiri, melainkan diambil dari orang lain
lalu dijual kembali. Sementara itu bakwan goreng, tahu dan tempe goreng, tahu
dan tempe bacem kepala ayam goreng, serta sate usus dan ampela ayam dibuat
sendiri makanya harganya lebih murah. Dahulu ada menu tut – tut ( sejenis keong
kecil ) tetapi sekarang sudah sulit didapatkan dan harganya pun menjadi lebih
mahal. Beliau memutuskan untuk tidak menyediakannya lagi setelah berunding
dengan pihak penyedia tut – tut. Saya pun bertanya lagi mengapa gorengan ini
tidak hangat. Beliau menjelaskan makanan itu dimasak dari rumah kemudian dibawa
kesini, tidak dimasak disini, termasuk menu nasi kucing. Beliau pun menunjuk ke
arah belakang angkringan yang ternyata adalah bangunan sebuah bank cabang
pembantu. Tentu awalnya beliau dan keluarga minta izin terlebih dahulu dengan
satpam dan pihak pengelola bank disitu bahwa beliau ingin membuka usaha
angkringan di halaman depan bank tersebut, tentu diperbolehkan, asalkan
angkringan buka setelah semua aktivitas bank selesai yaitu pada malam hari.
Lalu halaman depan bank tidak boleh kotor dan bau karena paginya tentu aktiitas
bank akan dimulai kembali. Bu Endang pun menyanggupinya dan memutuskan untuk
tidak masak di angkringan tersebut. Bahkan telur pun tidak ada karena akan
menyebabkan bau amis jika salah menggunakannya. Itulah alasannya makanan
gorengan ini tidak hangat, begitu juga makanan lainnya. Yang Bu Endang masak di
angkringan hanyalah air panas untuk minum saja. Untuk minuman pun tergolong
sedikit, hanya ada beberapa bungkus kopi dan susu kental manis, itu juga hanya
sedikit pilihan kopinya. Maka dari itulah dari kemarin saya tidak melihat ada menu
mie instan ataupun roti bakar tersedia di angkringan ini.
Tepat di seberang jalan Angkringan
Panjer Wengi ini berada, terdapat beberapa puing dan bekas bangunan yang sudah
rubuh dan rata dengan tanah. Itu merupakan bagian dari program pemerintah kota
Depok karena berbatasan langsung dengan sungai yang berada tepat di sebelah
bawahnya. Saya sebenarnya mengetahui kegiatan itu, tapi saya menanyakan
pendapat Bu Endang tentang hal itu. Beliau bersyukur karena bukan angkringan
miliknya yang ditertibkan dan digusur. Untung saja angkringannya berada pada
sisi seberang jalan, kalau tidak tentu sekarang angkringan ini sudah bernasib
sama dengan bangunan di seberang itu, rata dengan tanah. Kasihan mereka yang sudah lama berjualan di
sana, bahkan ada beberapa orang yang membuat tempat dagangnya menjadi rumah
tinggal karena sudah lama ada disana, Bu Endang menambahkan.
Ternyata malam sudah semakin
malam. Saya pun mohon pamit dengan Bu Endang seraya menyebutkan makanan dan
minuman yang saya konsumsi, lalu Bu Endang pun menyebutkan biayanya. Hanya
sebelas ribu rupiah saya, sementara saya daritadi mengambil cukup banyak
makanan sampai menambah minuman. Benar – benar murah deh.
Wawancara yang menjadi
perbincangan reuni kecil ini benar – benar menjadi pengalaman kecil saya di
saat ini. Mengingatkan saya betapa pentingnya hubungan baik antara kita para
murid dengan guru kita dahulu.
Penutup
Pertemuan dengan mereka yang
dahulu pernah berjasa untuk kita, entah itu di jalan, angkutan umum, tempat
perbelanjaan, atau dimana pun, terkadang kita sadar tetapi merasa enggan dan
tidak percaya diri untuk “menyadarinya”. Melalui tulisan ini, saya mengajak
untuk teman – teman yang pastinya sudah lebih dewasa dibanding hari kemarin
untuk lebih mengingat dan menghargai mereka yang pernah berjasa untuk hidup
kita. Mencoba menghubungi teman – teman lama tidaklah sulit di jaman teknologi
canggih seperti sekarang ini. Sama halnya dengan menhubungi guru kita yang
dahulu, hanya perlu niat dan kemauan untuk mendapat semua inormasi itu dan
bertemu dengan yang kita tuju. Pertemuan mendadak yang saya alami menjadi
sumber dari semua ini, bahkan saya pun merasa tidak melakukan wawancara saat
saya melakukannya kemarin. Untuk para guru, mungkin mereka yang pernah kalian
ajar dan didik sudah menjadi pejabat negara, muncul di media massa, dan menjadi
orang yang berpengaruh di negeri ini. Sementara untuk para murid, guru yang
pernah mengajar kalian dahulu mungkin saat ini sedang menunggu kabar baik dari
kalian, berbagi cerita dan pengalaman kalian saat ini. Jangan lupa berterima
kasihlah kepada mereka yang pernah berjasa kepadamu, sekalipun mereka ada
pahlawan tanpa tanda jasa.
(mohon maaf kualitas foto tidak baik, dikarenakan kondisi lokasi minim cahaya dan yang bersangkutan sedang melayani pelanggan)
sumber: pengalaman pribadi penulis